Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/699
Title: Mutrafîn Dalam Perspektif Al-Qur`an (Analisis Tafsir Klasik, Pertengahan, dan Modern)
Authors: Sayyidah Umamah, 13210544
Advisor: Ali Mursyid
Issue Date: 2017
Publisher: Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta
Abstract: Penggunaan kata Mutrafîn yang akar katanya tarofa yang artinya hidup mewah dalam Al-Qur`an di ulang sebanyak 8 kali pada 7 surah dalam Al- Qur`an. Gaya bahasanya yang tinggi dan memilki arti yang sangat luas bukanlah ditempatkan Allah begitu saja. Penulis memfokuskan pandangan para ulama ahli tafsir dalam memahami arti kata Mutrafîn tersebut, karena hal tersebut menyebabkan terjadinnya adzab dari Allah SWT kepada umatumat terdahulu. Kaum mutrafîn adalah kaum yang paling banyak ingkar, takabur dan melampaui batas dalam kenikmatan dan kemewahan diantara golongan lainnya, dia adalah kaum yang paling merasa mulia, hal ini adalah suatu penyakit masyarakat sejak dahulu hingga sekarang yang harus diatasi hingga tidak menjadi rintangan atau penghalang dakwah Islam dan datangnya adzab dari pada Allah SWT. Banyak orang salah dalam memahami arti kekayaan atau kesenangan yang di berikan Allah padanya. “Mereka menganggap bahwa kekayaan, kesenangan itu semata-mata karena Tuhannya telah memuliakannya", tanpa menyadari bahwa hal itu merupakan suatu ujian, apakah dengan harta kekayaan itu ia bersyukur atau kufur, apakah harta kekayaan itu ia penuhi hak-haknya sepeti membayar zakat, bersedekah, memuliakan anak yatim, memberi makan orang miskin, dan tidak mencampur baurkan yang halal dan yang haram dan tidak mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan hingga melakukan kemaksiatan. Untuk itulah membuat penulis melihat pentingnya untuk mengkaji lebih mendalam, tentang kemewahan yang dapat membawa bencana seperti yang telah dijelaskan di dalam Al- Qur`an agar para pembaca terhindar dari hal tersebut, dengan mengambil penafsiran dari Tafsir Klasik yaitu Tafsir Ath-Thabari karya Ibn Jarir Ath- Thabari (w. 310 H), kitab Tafsir Pertengahan yaitu Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu Katsir (w. 1372 M), dan kitab Tafsir Modern yaitu Tafsir Fi Zhilâl Al- Qur`an karya Sayyid Quthub (L. 1996 M), yang mana ketiganya merupakan mufassir dari madzhab theologi yang sama, yaitu Sunni akan tetapi berbeda zaman. Karena penelitian tersebut termasuk dalam penelitian perpustakaan (Library Research), maka penulis merujuk kepada Al-Qur`an, hadis-hadis Rasulullah saw, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Fi Zhilâl Al-Qur`an. Kemudian di dukung oleh data dari literature yang ada kaitannya xvi dengan penelitian ini. Data-data tersebut di kumpulkan seterusnya mencari titik persamaan dan perbedaannya melalui pendekatan metode tafsir analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara ketiga mufassir tersebut tentang pengertian Mutrafîn. Kesimpulan dari kesemua Mufassir mengatakan Mutrafîn merupakan orang-orang yang hidup mewah, lalai, sombong, menolak kebenaran yang tidak pernah luput di setiap zaman, akan berkelanjutan sejak dahulu, sekarang, hingga yang akan datang karena hidup mewah membuat mereka mengeraskan hati, menghilangkan sensitivitasnya, merusak fitrah, dan membutakannya sehingga tidak dapat melihat tanda-tanda petunjuk. Akibatnya, mereka menjadi sombong atas petunjuk dan tetap berpegang pada kebatilan, serta tidak terbuka untuk menerima cahaya, tertipu oleh nilai-nilai palsu dan kenikmatan yang fana. Mereka juga terpesona dengan apa yang ada pada mereka saat itu, berupa kekayaan dan kekuatan. Sehingga, mereka menyangka hal itu akan menghalangi mereka dari adzab Allah SWT. Bahkan, mereka memandang bahwa itu adalah tanda keridhaan Allah terhadap mereka, atau mereka berada di tempat yang lebih tinggi dari hisab dan balasan Allah SWT. Hati mereka ditutup dan akal mereka menjadi buta terhadap kebenaran dengan menyekutukan Allah. Persamaan penafsiran Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Fi Zhilâl Al- Qur‟an terhadap ayat-ayat tentang Mutrafîn adalah mereka semua berpegang dengan atsar-atsar dari Nabi saw, para sahabat, tabi‟in dan para ahli tafsir dan perbedaannya adalah jika Ath-Thabari menjadikan hujah dalam penafsirannya dengan riwayat-riwayat, Perbedaan bacaan dan syair-syair Arab tanpa mengkoreksinya, maka Ibnu Katsir memilki kedudukan peringkat kedua setelah Ibnu Jarir dalam keistimewaannya, beliau banyak mengoreksi keakuratan riwayat bahkan menolaknya atau memperinagatinya jika bertentangan dengan keahlian ilmu hadits yang dimilikinya. Sedangkaan Fi Zhilâl Al-Qur‟an menyederhaanakan riwayat, hanya menyebutkan maksudnya. Adapun perbedaan Mutrafîn dari ketiga zaman mufasir berbeda di karenakan Rasulullah saw telah bersabda: “Sebaik-baiknya generasi adalah generasi-ku kemudian generasi berikutnya kemudian generasi berikutnya.” Maka generasi pada masa Ath-Thabari lebih lebih sedikit dan lebih sederhana dan pada masa Ibnu Katsir para Mutrafîn bertambah banyak dan bertambah keingkarannya sedangkan pada masa Fi Zhilâl Al-Qur‟an hingga sekarang masa sudah mendekati akhir zaman, maka para Mutrafîn bertambah banyak lagi bahkan sudah melampaui batas dan kerusakan yang dibuat sudah susah dikendalikan.
URI: http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/699
Appears in Collections:Skripsi S1 Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
13210544.pdf
  Restricted Access
3.37 MBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in IIQJKT-R are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.