Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/1558
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorMuhammad Ulinnuha-
dc.contributor.authorNafisatul Muthmainnah, 17210864-
dc.date.accessioned2021-11-29T04:23:05Z-
dc.date.available2021-11-29T04:23:05Z-
dc.date.issued2021-
dc.identifier.urihttp://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/1558-
dc.description.abstractPernikahan idealnya terjadi antara seseorang yang berkeyakinan sama. Tepatnya di Indonesia yang merupakan negara dengan agama beragam, tidak dapat dipungkiri hal ini memicu adanya pernikahan beda agama. Hal ini merupakan masalah yang kontroversial, hukum positif di Indonesia melarang pernikahan ini namun implementasinya masih banyak yang melangsungkan pernikahan ini. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan beda agama, oleh karena itu penulis tertarik meneliti penafsiran mufassir nusantara abad XX dan XXI terkait pernikahan beda agama serta merelevansikannya dengan konteks keindonesiaan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang mendasarkan analisa yang berkaitan dengan tema pembahasan. Metode penelitian ini adalah metode kualitatif. Adapun teknik analisa data yang digunakan yaitu deskriptif-analisis. Hasil penelitian ini adalah mufassir nusantara abad ke-20 dan 21 ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 sepakat menghukumi haram bagi seorang lelaki muslim menikahi wanita musyrik dan kafir, begitupula sebaliknya. Dan dalam penafsiran surah al-Maidah ayat 5, bagi seorang lelaki muslim diperbolehkan menikahi ahl al-kitâb menurut para mufassir abad ke-20 dan 21. Namun, Hamka mensyaratkan kebolehan menikahi wanita ahl al-kitâb yakni hanya berlaku bagi seorang lelaki yang memiliki iman yang kuat dan Quraish Shihab mensyaratkan jika dalam keadaan mendesak atau dengan tujuan dakwah. Dalam penafsiran mufassir nusantara abad ke-20 dan 21 terhadap ayat-ayat pernikahan beda agama memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yakni makna ahl al-kitâb, para mufassir sepakat bahwasannya ahl al-kitâb merupakan orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan perbedaannya yakni terletak pada penafsiran kata muhshanat, menurut Hasbi ash-Shiddieqy dan Buya Hamka kata muhshanat diartikan sebagai perempuan yang merdeka. Di sisi lain Quraish Shihab dan Kementrian Agama mengartikannya dengan wanita yang menjaga kehormatannya, baik wanita mukminah maupun ahl al-kitâb. Adapun relevansi penafsiran terhadap konteks keindonesiaan yakni penafsiran surah Al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 relevan dengan hukum Islam, hukum positif dan hukum adat, sedangkan penafsiran surah al-Maidah ayat 5 menurut Hasbi ash-Shiddieqy dan Kementrian agama relevan dengan hukum Islam namun tidak relevan hukum positif dan hukum adat. Dan penafsiran Buya Hamka dan Quraish Shihab terhadap surah al-Maidah ayat 5 ini relevan dengan ketiga hukum tersebuten_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherInstitut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakartaen_US
dc.subjectPernikahan beda agamaen_US
dc.subjectahl al-kitâben_US
dc.subjectHasbi ash-Shiddieqyen_US
dc.subjectBuya Hamkaen_US
dc.subjectQuraish Shihaben_US
dc.subjectKementrian Agamaen_US
dc.titlePernikahan beda agama Perspektif Tafsir Nusantara Abad XX dan XXIen_US
dc.typeSkripsien_US
Appears in Collections:Skripsi S1 Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
17210864.pdf
  Restricted Access
1.28 MBAdobe PDFView/Open Request a copy
17210864_Publik.pdf
  Restricted Access
753.84 kBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in IIQJKT-R are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.