Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/274
Full metadata record
DC Field | Value | Language |
---|---|---|
dc.contributor.advisor | Huzaemah Tahido Yanggo | - |
dc.contributor.advisor | Ahsin Sakho Muhammad | - |
dc.contributor.author | Shohibul Faroji, 207610017 | - |
dc.date.accessioned | 2019-11-20T08:52:06Z | - |
dc.date.available | 2019-11-20T08:52:06Z | - |
dc.date.issued | 2015 | - |
dc.identifier.uri | http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/274 | - |
dc.description.abstract | Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci naluriah dan ruhaniah antara laki-laki dan perempuan. Tujuan pernikahan adalah terciptanya keluarga sakînah mawaddah wa rahmah yang akan membawa mereka mengarungi samudera ridha Ilahi. Untuk mencapai tujuan di atas, empat imâm mujtahid Sunni berbeda pendapat tentang syarat untuk mencapai tujuan pernikahan. Apakah tujuan pernikahan bisa didapatkan dengan kafâ’ah nasab atau tidak. Permasalahan yang muncul dalam tesis ini adalah: apa dan siapa yang bisa disebut Ahl Al-bayt? bagaimana sebenarnya konsep kafâ’ah nasab Ahl Al-Bayt dalam perspektif fiqih mazhâhib al-arba’ah ? dan bagaimana relevansi pemahaman kafâ’ah nasab Ahl Al-Bayt terhadap kondisi sosial modern yang semakin canggih ini ?. Pernyataan para Imâm tentang kafâ’ah nasab berbeda pendapat yaitu: menurut Imâm Abû Hanîfah kafâ’ah nasab ahl al-bayt merupakan syarat kelaziman atau syarat kepantasan, Imâm Mâlik berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt tidak dikatagorikan sebagai kafâ’ah, Imâm Syafi’i berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt atau kafâ’ah dalam pernikahan syarifah merupakan syarat sah, syarat fadhoil, syarat penting, dan syarat kelaziman, dan Imâm Ahmad bin Hanbal –dalam salah satu riwayat darinya– kafâ’ah nasab ahl al-bayt adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu’, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafâ’ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafâ’ah. Teori sekaligus praktek tentang kafâ’ah nasab ini sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang ini. Berdasarkan ushûl al-fiqh bahwa dalam pernikahan, al-Hadaf (tujuan utama pernikahan) adalah sakînah mawaddah wa rahmah, sedangkan Kafâ’ah nasab merupakan al-wasîlah (salah satu perantara untuk mencapai tujuan tersebut). Metodologi yang dipergunakan dalam tesis ini adalah dari sisi metode pengumpulan data, penulis menggunakan metode Library Research, observasi, interview, dokumentasi, angket (kuesionare), tes dan korespondensi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan metode analisis isi (content analysis). Dalam studi keabsahan data ini ada 2 metode yang digunakan oleh peneliti, yaitu: metode isnad dan metode trianggulasi. x Adapun tahap-tahap dalam pengumpulan data dalam suatu penelitian, yaitu tahap orientasi, tahap ekplorasi dan tahap member chek. Penulis dalam metode penulisan penelitian ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Institut Ilmu Al-Qur’an dan Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana IIQ Jakarta Nomor: K.0058.XVII/PPS/VI/2015, penulis menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1987, Nomor 158 Tahun 1987 - Nomor: 0543 b/U/1987. Analisa penulis dalam tesis ini adalah bahwa berdasarkan hasil penelitian penulis di beberapa tempat hampir merata di seluruh dunia, bahwa kafâ’ah nasab perlu dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu kafâ’ah nasab yang bersifat umum dan kafâ’ah nasab yang bersifat khusus. Kafâ’ah nasab yang bersifat umum adalah kafâ’ah nasab bagi seluruh manusia, sedangkan kafâ’ah nasab yang bersifat khusus, adalah kafâ’ah nasab yang terjadi dalam pernikahan ahl al-bayt Rasûlullah Shallallâhu ’Alaihi Wasallam. Mengenai kafâ’ah nasab khusûsiyyah, empat madzhab fiqih sunni berbeda pendapat yaitu: menurut Imâm Abû Hanîfah kafâ’ah nasab di ahl al-bayt merupakan syarat kelaziman atau syarat kepantasan, maka implikasi hukumnya adalah sunnah; Imâm Mâlik berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt tidak dikatagorikan sebagai kafâ’ah, maka implikasi hukumnya adalah mubah, Imâm Syafi’i berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt atau kafâ’ah dalam pernikahan syarifah merupakan syarat sah, syarat fadhoil, syarat penting, dan syarat kelaziman. Disebut syarat sah karena kafâ’ah ahl al-bayt adalah hak wali, tidak sah pernikahan tanpa adanya wali nikah, disebut syarat fadhoil karena takdir bernasab kepada Rasûlullah merupakan keutamaan atau fadhoil dari Allah, dan itu merupakan hak otoritas Allah; disebut syarat penting karena ia merupakan hak isteri, rumah tangga membutuhkan frekwensi yang sama antara suami isteri, maka kafâ’ah nasab merupakan salah satu faktor penting dalam hubungan suami isteri, juga merupakan syarat kelaziman (syarat ‘urfi) karena di kalangan komunitas ‘alawiyyîn yang lazim adalah pernikahan seorang syarifah sepantasnya menikah dengan seorang sayyid. Berdasarkan fakta di atas maka implikasinya kafâ’ah nasab ahl al-bayt adalah wajib hal ini diikuti oleh Mufti Besar Betawi As-Sayyid Utsman bin Yahya yang memfatwakan bahwa kafâah nasab bagi ahl al-bayt adalah syarat wajib, dan hukumnya wajib. dan Imâm Ahmad bin Hanbal –dalam salah satu riwayat darinya– kafâ’ah nasab ahl al-bayt adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu’, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafâ’ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafâ’ah. Dalam konteks ini penulis mengkritisi pendapat empat madzhab sunni di atas, bahwa jika merujuk kepada ayat Al-Qur’an, sebenarnya tidak ada xi ayat yang secara tekstual memerintahkan adanya syarat kafâ’ah nasabiyyah dalam pernikahan ahl al-bayt, selama ini ayat-ayat yang ada memiliki multi tafsir, yang bisa ditafsirkan sesuai keinginan mufassir. Juga dalam hadits, tidak ada perintah secara jelas yang mengharuskan adanya kafâ’ah nasabiyyah antara ahl al-bayt, yang ada adalah tentang keutamaan ahl al-bayt, bukan pernikahan ahl al-bayt. Maka sebenarnya hukum kafâ’ah nasabiyyah ahl al-bayt bagi syarifah lebih mengarah kepada ‘urf ahl al-bayt yang menjadi hukum. Al-‘Âdah al-muhakkamah bahwa adat bisa menjadi hukum, selama adat tersebut tidak bertentangan dan tidak menyalahi Syari’at Islam. Kesimpulannya kafâ’ah nasab ahl al-bayt merupakan tema tersendiri yang perlu dikaji dalam bab pernikahan, bab ini perlu dikaji secara mendalam berdasarkan dalil-dalil syar’i yang mu’tabarah, hati-hati dan memperhatikan dampaknya dalam kehidupan bermasyarakat. | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.publisher | Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta | en_US |
dc.subject | Kafâ’ah Nasab Ahl Al-Bayt | en_US |
dc.subject | Fiqih Madzâhib Al-Arba’ah | en_US |
dc.title | Kafa'ah Nasab Ahl Al-Bayt Dalam Perspektif Fikih Madzahib Al-Arba'ah | en_US |
dc.type | Tesis | en_US |
Appears in Collections: | Tesis S2 Hukum Ekonomi Syariah |
Files in This Item:
File | Description | Size | Format | |
---|---|---|---|---|
207610017 (Shohibul Faroji).pdf Restricted Access | Tesis-207610017 | 12.09 MB | Adobe PDF | View/Open Request a copy |
Items in IIQJKT-R are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.