Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/3465
Title: | Makna Kata Fakhūr Dalam Al-Qur'an: Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu (W.d1993) |
Authors: | Shofy Shofwatun Nada, 19211309 |
Advisor: | Samsul Ariyadi |
Issue Date: | 2023 |
Publisher: | Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta |
Abstract: | Tren budaya pamer (flexing culture) di media sosial yang sedang meluas dalam kehidupan manusia dewasa, dianggap tidak etis karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sebagai agama yang mengajarkan nilai-nilai akhlak yang tinggi dan mulia, Islam sangat melarang umatnya untuk mendekati perilaku tercela, termasuk riya'. Memamerkan harta termasuk dalam tindakan riya'. Baik disadari atau tidak, sikap riya' termasuk dalam bentuk kecil dari perbuatan syirik yang dosanya sangat besar. Terlebih lagi, jika tindakan ini diikuti dengan pandangan bahwa dirinya lebih tinggi daripada orang lain (sombong), sehingga meremehkan, menghina, dan merendahkan orang lain baik melalui tindakan maupun perkataan. Melalui analisis semantik Toshihiko Izutsu penulis akan menggali makna dasar dan relasional, sinkronik dan diakronik, serta menemukan welanschauung kata fakhūr, yang termasuk salah satu term sombong dalam Al-Qur’an. Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dengan kajian library research yakni suatu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk pengambilan data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kata fakhūr secara semantik menunjukkan makna dasar “bangga”. Dan makna relasional fakhūr diantaranya: kibr, bathar, ‘utuww, ‘uluww, ‘ajab, maraha. Semuanya memiliki keterkaitan terhadap fenomena flexing, seringkali orang yang pamer merasa dirinya lebih besar, sombong, menyalahgunakan kenikmatan, bertindak sewenang-wenang tanpa peduli sekitar, merasa senang dan takjub pada dirinya sendiri secara berlebihan. Analisis sinkronik dan diakronik fakhūr berdasarkan tiga periode, yaitu diartikan sebagai “bangga” pada konteks pujian (bukan termasuk sifat tercela), disebut sebagai sikap membanggakan diri disertai kesombongan (termasuk ke dalam sifat tercela), kemudian disebut sebagai sikap sombong yang berkaitan dengan nilai moral atau etika sehingga dapat mengkaji dan mengkritik terhadap fenomena flexing; dan konteks lain yang tidak merujuk pada kesombongan). Dan weltanschauung kata fakhūr digunakan untuk menunjukkan makna “bangga” yang bukan termasuk sifat tercela. Kedua, memiliki makna “bangga” yang termasuk ke dalam sifat tercela yakni membangga-banggakan diri disertai kesombongan terhadap manusia yang lain. |
URI: | http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/3465 |
Appears in Collections: | Skripsi S1 Ilmu Al-Quran dan Tafsir |
Files in This Item:
File | Description | Size | Format | |
---|---|---|---|---|
82-19211309.pdf Restricted Access | 1.24 MB | Adobe PDF | View/Open Request a copy | |
82-19211309_Publik.pdf Restricted Access | 837.58 kB | Adobe PDF | View/Open Request a copy |
Items in IIQJKT-R are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.