Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/604
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorFaizah Ali Syibromalisi-
dc.contributor.advisorJaih Mubarak-
dc.contributor.authorBardiatus Sa′adah, 208410311-
dc.date.accessioned2020-04-09T08:08:20Z-
dc.date.available2020-04-09T08:08:20Z-
dc.date.issued2015-
dc.identifier.urihttp://repository.iiq.ac.id//handle/123456789/604-
dc.description.abstractAl-Qur′an sebagai kitab suci umat Islam dalam tataran normatif-idealis, sangat menghargai perempuan, dan dengan tegas memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah. Namun pada tataran historis-empiris posisi perempuan relatif belum setara dengan laki-laki, dan peranan mereka terasa masih terpinggirkan. Kondisi tersebut pada akhirnya melahirkan kesadaran baru akan perlunya mereformasi pola relasi laki-laki dan perempuan ke arah yang lebih adil dan bernuansa kesetaraan (equality). Gagasan kesetaraan dan persamaan hak, terutama persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, atau yang lebih dikenal dengan ide emansipasi ini kemudian berimplikasi pada kemunculan feminisme. Di dunia Islam, muncul beberapa tokoh feminis yang dianggap cukup aktif sebagai penggerak gerakan feminisme Islam, diantaranya Amina Wadud Muhsin. Dalam karyanya Qur′an and Woman, Amina mengungkapkan ketertarikannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur′an khususnya yang berkenaan dengan ayat-ayat relasi gender. Untuk mendapatkan penafsiran yang relatif objektif, Amina mensyaratkan seorang mufassir harus kembali pada prinsip-prinsip Al-Qur′an sebagai paradigma penafsiran. Karenanya, ia merumuskan metode penafsiran yang berkaitan dengan isu-isu perempuan di era modernitas. Permasalahan yang muncul adalah berdasarkan pandangan ini, Amina meyakini bahwa tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif. Hal ini dikarenakan seorang mufassir seringkali terjebak dalam asumsi subjektif yang justru mereduksi dan mendistorsi makna Al-Qur′an. Kajian terhadap Al-Qur′an yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin mengagetkan banyak pihak dan kontroversional. Maka tak pelak dalam hal ini pengkajian terhadap pemikiran feminis khususnya Amina Wadud Muhsin menjadi sebuah keniscayaan, karena genre penafsiran feminis adalah gagasan baru yang sedikit banyaknya memiliki perbedaan dengan penafsiran klasik. Penelitian ini merupakan studi literatur (library research) atau penelitian pustaka yang bersifat deskriptif-analitis. Sumber primer (the primary resource) dalam penelitian ini adalah karya feminis Muslim tersebut, yakni Qur′an and Woman, serta karya-karyanya yang lain yang berkaitan dengan usahanya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur′an. Adapun sumber data sekunder (the secondary resources) dalam penelitian ini adalah buku-buku dan jurnal-jurnal yang dianggap representatif dan otoritatif dalam bidang feminisme, termasuk pula karya-karya feminis lainnya. Akar pemikiran yang dimiliki oleh Amina Wadud Muhsin merupakan refleksi kritis yang berpersfektif gender yang dilatarbelakangi oleh faktor psikologis, teologis, serta akademis. Konstruksi metodologis penafsiran yang digunakannya terletak pada penggunaan analisis gender dalam menginterpretasikan ulang ayat-ayat relasi gender. Namun pada aplikasi metodologisnya, hal yang sulit dihindari adalah faktor subyektivitas, misalnya penafsirannya mengenai makna “wahyu” dalam QS. Al-Qashash [28]: 7. Ia juga berpendapat bahwa perempuan juga menerima wahyu sama dengan laki-laki, yang dalam hal ini terkait dengan peristiwa yang terjadi pada ibunda Nabi Mûsâ. Padahal berdasarkan penelusuran penulis dari beberapa literatur, ′wahyu′ pada ayat tersebut diartikan dengan ′firasat′. Dari sini tampak bahwa dalam diri Amina Wadud Muhsin ada kecenderungan bias keperempuanan. Implikasi dari persfektif Amina Wadud Muhsin dapat dilihat dari dua poin utama, yakni implikasi metodologi dan penafsiran. Implikasi metodologi dapat mencakup tiga poin: 1) Amina menggunakan corak epistemologi Bayâni-Burhânî; 2) Amina adalah seorang yang Qur’an oriented, namun tidak menjadikan hadis sebagai sumber rujukan; 3) Metode analisis sosio-historis yang dijadikan sebagai acuan oleh Amina masih harus tetap dipertanyakan karena jauhnya jarak antara situasi turunnya ayat serta situasi dewasa ini, selain metode analisis semantik yang masih inkonsisten dilakukan. Adapun implikasi penafsiran yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin meliputi dua hal: 1) rekonstruksi teologis, yang membangun paradigma baru mengenai konsep penciptaan perempuan; 2) rekonstruksi sosial, yang membangun paradigma baru mengenai konsep kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherPascarajana Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakartaen_US
dc.subjectFeminisen_US
dc.subjectGenderen_US
dc.subjectPemikiran Amina Wadud Muhsinen_US
dc.titlePerspektif Feminis Terhadap Ayat-Ayat Relasi Gender Dalam Al-Qur'an Studi Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin Dalam Karyanya Qur'an And Womanen_US
dc.typeTesisen_US
Appears in Collections:Tesis S2 Ilmu Al Quran dan Tafsir

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
208410311-Bardiatus Sa′adah.pdf
  Restricted Access
208410311-Tesis6.83 MBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in IIQJKT-R are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.