dc.description.abstract |
Perbudakan telah menjadi praktik jâhiliyyah yang terwariskan dari
masa ke masa. Bahkan dewasa ini, meski perbudakan telah sepakat
dihapuskan dari tatanan dunia, praktik perbudakan masih bisa ditemukan
dalam bentuk lain, seperti perdagangan manusia (human traffî cking) atau
penjualan wanita sebagai pekerja ilegal melalui aplikasi daring. Al-Qur`an
yang turun saat perbudakan sedemikian masifnya menanggapi hal tersebut
dengan beragam term yang menunjuk makna „budak‟, salah satunya adalah
milk al-yamîn atau mâ malakat aimânukum. Term ini dimaknai oleh ulama
tafsir dengan arti yang beragam.
Di Indonesia sendiri, term ini sempat menjadi sorotan publik dunia
akademis beberapa waktu lalu. Hal tersebut sebab penelitian yang dilakukan
Abdul Aziz dalam menelaah konsep hubungan seks halal di luar nikah.
Penelitian tersebut menuai kontroversi di masyarakat hingga secara resmi
ditolak Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena dianggap bertentangan
dengan Al-Qur`an, as-Sunnah, serta kesepakatan ulama.
Berbagai permasalahan di atas yang kemudian mendasari penulis
mengkaji term milk al-yamîn lebih dalam pada penelitian ini sebagai upaya
agar pembaca tidak terjebak dalam ambiguitas pemaknaan milk al-yamîn.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan
satu kitab tafsir atau pemikiran satu tokoh, penulis menggunakan beberapa
tafsir lintas zaman sebagai sumber data primer penelitian ini untuk
mengetahui perkembangan pemaknaan milk al-yamîn dari masa ke masa.
Penulis menggunakan pendekatan historis untuk mengetahui adanya
ketetapan (continuity) atau kesenjangan (change) makna milk al-yamîn.
Dari penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan frasa
milk al-yamîn mengalami perkembangan dari masa ke masa disertai
persamaan dan perbedaan. Tafsir ath-Thabarî memiliki kesamaan penafsiran
milk al-yamîn dengan Tafsir al-Qurthubî , yakni „hamba sahaya wanita sebab
tawanan perang‟. Pemaknaan frasa milk al-yamîn mulai berkembang pada
Tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dengan makna „hamba sahaya wanita dalam
belenggu tuannya‟. Perkembangan makna selanjutnya ditemukan pada
pemaknaan Tafsir al-Munîr, yakni „tawanan perang/hamba sahaya wanita
yang dimiliki tuannya‟. Dari sini, dapat diketahui bahwa penafsiran klasik
xviii
(Tafsir ath-Thabarî) dan pertengahan (Tafsir al-Qurthubî ) terhadap frasa
milk al-yamîn cenderung kontinyu. Sedangkan pemaknaan milk al-yamîn
mengalami perubahan pada periode modern (Tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an) dan
kontemporer (Tafsir al-Munîr). |
en_US |