Abstract:
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang status hukumnya disahkan dalam Paket Kebijaksanaan Keuangan Moneter dan perbankan melalui Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) tanggal 27 Oktober 1988, pada hakikatnya merupakan penjelmaan model barn dari lumbung desa dan bank desa. Sejak dikeluarkannya Undang-unclang pokok perbankan, status hukumnya clipetjelas clengan izin clari menteri keuangan. Dengan adanya keharusan izin tersebut, diikuti dengan upayaupaya pembenahan terhadap badan-badan kredit desa yang berproses menjadi lembaga keuangan bank.
Berdirinya BPR Islam di Indonesia selain didasari oleh tuntutan bermmmalah secara Islam yang merupakan keinginan kuat dari sebagian besar umat Islam di Indonesia, juga sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan keuangan, moneter, perbankan secara umum. Secara khusus adalah mengisi peluang terhadap kebijaksanaan yang membebaskan bank dalam penetapan tingkat suku bungc1 (rute interest), yang kemu<lian dikenal dengan bank tanpa bunga. Peluang beroperasinya BPB. tanpa bunga tersebut semakin terbuka setelah PAKTO 1988 tangal 27 Oktober 1988 yang memberikan peluang berdirinya bank-bank baru, termasuk diantaranya bank tanpa bunga.
Kepastian bagi peluang beroperasinya BPR tanpa bunga yang sesuai dengan keinginan umat Islam tersebut tanpak jelas dengan penjelasan lisan pemerintah dalam rapat kerja dengan komisi Vil DPR RI tanggal 5 Juli 1990. bahwa tidak ada halangan untuk mendirikan atau mcngopcrasionalkan bank (tcrmasuk BPR) yang scsuai dengan prinsip syari'ah Islam, sepanjang pcngoperasian bank tersebut memenuhi kriteria kcsehatan bank sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.