Abstract:
Pada tahun pertama hijriah sahabat nabi belum dapat membaca dan menulis, mereka hanya mengandalkan kekuatan hafalan yang baik. Faktor pendukung kekuatan hafalan menurut Hasby Al-Shiddieqy adalah factor kejiwaan (amil ruhi) dan factor watak dan tabi’at (amil fithry). Ada sahabat nabi yang menulis hadits secara pribadi, sehingga mereka mempunyai lembaran-lembaran yang berisi hadits yang mereka dengar dari Rasul SAW. Stabilitas politik dan keamanan pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar memberikan kesempatan kepada sahabat untuk menyempurnakan ilmu, untuk tabi’in dapat mempelajari hadist hukum dan fatwa-fatwa sahabat meskipun terkadang dikacaukan oleh orang munafik dan orang murtad yang berusaha mencemari kesucian ilmu dengan membuat hadits palsu. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat kepada beberapa gubernur di berbagai kota besar, sejak itulah perhatian ulama untuk menulis dan membukukan hadist dan berbagai kota banyak bermunculan ulama-ulama hadits hingga tersusunnya kitab al-Muwaththa. Kitab al-Muwaththa’ yang merupakan warisan abad kedua hijriah. Kajian al-Muwaththa’ berkaitan dengan derajat hadits, manhaj penafsiran dan karakteristiknya. Metode penelitian yang digunakan metode deskriptif analisis dengan menganalisa data-data yang terhimpun berdasarkan pendekatan kualitatif yaitu menguraikan dengan kata-kata dan menganalisa satu persatu hal-hal yang menyangkut pokok permasalahan.
Kitab Al-Muwaththa’ harus ditempatkan pada urutan pertama Bersama kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebab Imam Malik dalam menerima hadits-haditsnya menentukan syarat-syarat yang sangat ketat dari segi sanad dan matannya. Karakteristik kitab Al-Muwaththa’ adalah Tehnik penyusunan Al-Muwaththa’ yang didasarkan kepada bab-bab fiqih, kitab Al-Muwaththa’ terkait erat dengan Amal Ahl Madinah, Al-Muwaththa’ memiliki istilah-istilah khusus dalam memaparkan pembahasannya.