Abstract:
Telah menjadi sunnatullah ketika Allah mengutus rasul-Nya kepada suatu kaum, dengan membekal mu'jizat yang sesuai dengan keadaan dan keahlian kaum terse but.
Nabi Musa a.s. misalnya, dengan kemampuan merubah tongkat menjadi ular ( dengan izin Allah) diutus kepada masyarakat atau suatu kaum yang mengandalkan sihir (Thaha 63-76). Nabi Sholeh, keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dari batu karang yang kemudian makan dan minum menjadi mu'jizat yang diberikan Allah dalam usahanya menyampaikan risalah kepada kaum Tsamud yang ahli melukis. memahat bukit-bukit batu tempat tinggal mereka (Al A'raf 7 : 73-74, Al Fajr 89 : 9 dan Asy Syu'ara 26: 155-156). Nabi Isa, lahir di tengah masyarakat yang telah mempunyai kemampuan tinggi di bidang pengobatan, maka Allah memberinya mu'jizat yang mampu menandingi kemampuan mereka tersebut, yaitu mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir, menyembuhkan penyakit sopak (kusta) dan bahkan menghidupkan orang mati (Ali Imron 3 : 49). Demikian pula dengan Nabi Muhammad, dengan mu'jizat berupa wahyu (Al Qur'an) yang memiliki nilai sastra tinggi, diutus ke tengah-tengah kaum Quraish yang memiliki kemampuan dan kecenderungan pada seni sastra.
Hal di atas merupakan fakta sejarah yang tak dapat dinafikan atau dengan kata lain telah memperjelas bahwa sastra bukanlah merupakan hal baru bagi dunia/ kebudayaan Islam, baik itu berupa qasidah-qasidah, sajak-sajak pendek, Al Insya (karang mengarang) ataupun berupa khotbah-khotbah.
