Abstract:
Penelitian ini membuktikan bahwa dalam proses perspektif
penegakan hukum, penerapan hukum jinᾱyᾱt adalah untuk mewujudkan ideide
keadilan, kepastian hukum dan pemanfaatan sosial. Proses penegakan
hukum dilakukannya supaya tegak dan berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut
Soerjono Soekanto, dalam bukunya Hukum Tata Negara, proses penegakan
hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
di dalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penerapan Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang khamr, maisir
dan khalwāt di Aceh telah berlangsung secara realistis sebagaimana yang
diqanunkan. Frekwensi penerapannya dapat dilihat pada data statistik
perkara Jinᾱyᾱt dan dokumen-dokumen eksekusi („uqūbᾱt) terhadap pelaku
pelanggaran. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi qanun dan
hukuman (ḥadd dan ta‘zīr) yang terkandung di dalamnya dilatarbelakangi
qanun-qanun sebelumnya seperti: Qanun Provinsi. Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) Nomor.1 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam;
Qanun Provinsi. Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Nomor.11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam. Keseluruhan hukum Jinᾱyᾱt belum terimplementasikan sebagaimana
tuntutan Fikih Jinᾱyᾱh secara ideal.
Dalam perkara Fikih, studi ini membantah pandangan Nurcholish
Madjid sebagaimana dikutip Rusjdi Ali Muhammad di dalam Revitalisasi
Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi, dan Implementasi, 2003 yang
mengatakan Wilayah Hisbah (polisi syariat) berhak menjatuhkan hukuman
ta‘zir bagi pelaku jinᾱyᾱt. Persepsi ini bertentangan dengan kaidah fikhiyah
yang popular, yakni penerapan hukuman mesti dilakukan oleh qadi/‘umara’.
Melihat aspek historis peradilan Syariat Islam di Aceh, studi ini sesuai
dengan pandangan Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the
Experience of Indonesia (Canada: Mac Gill: 1997); Ratno dalam karyanya
itu telah menyinggung tentang implementasi Hukum Jinayat di Aceh pra-
Penjajahan (pre-colonialism), yang demikian juga halnya yang disinggung
di dalam studi ini. Studi ini juga mendukung karya Moch. Nur Ikhwan, “the
Politics of Shari„atization: Central Governmental and Regional Discourses
of Shari„a Implementation in Aceh” dalam R. Michael Feener and E.
Cammck, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions
(Massechussets: Harvard University Press, 2007). Nur Ikhwan menulis
bahwa Mahkamah Syariyah Aceh bertugas menangani aspek pidana Islam di
xvi
Aceh untuk dapat mengaplikasikan Qanun-qanun Aceh yang menyangkut
dengan jinᾱyᾱt. Ia juga mengatakan bahwa pelaksanaan Qanun Jinᾱyᾱt
merupakan kelanjutan dari program penerapan syariat Islam di Aceh sejak
1 Muharram 1423 Hijriah, bertepatan dengan 14 Maret 2002. Studi ini juga
mendukung karya Alyasa„ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di NAD:
Upaya Penyusunan Fikih dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 2008). Alyasa„
mengatakan bahwa “Qanun jinᾱyᾱt Aceh” yang membahas tindak pidana
khamr, judi, dan khalwᾱt tersebut telah melakukan tinjauan ke fikih Islam,
dan telah melakukan penyesuaian dengan Hukum Perundang-undangan
Nasional Republik Indonesia.
Sumber-sumber dari Penelitian adalah dokomen-dokumen (terutama
Qanun Aceh baik dalam bentuk konsep maupun data aplikatif), dengan
menempuh studi kepustakaan dan dokumentatif. Data-data tersebut, diuraikan
dalam pembahasan secara deskriptif dan analisis dengan melakukan
pendekatan legal-historis.