Abstract:
Anak yang terlahir dalam pernikahan yang sah baik secara hukum dan
agama Islam akan mendapat hak yang sesuai untuk pemenuhan
kebutuhannya, akan tetapi anak yang terlahir akibat dari pernikahan yang
cacat, baik secara hukum maupun agama, biasanya banyak menuai konflik
dan permasalahan di kemudian hari, baik terkait harta warisan, perwalian,
nasab dan hak-hak sebagai warga negara.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 46/PUU-VIII/2010
tentang pengakuan keperdataan anak luar kawin dengan bapaknya, yang
seharusnya dengan ibu, menuai beragam persepsi dan konsekuensi hukum
Diantaranya pengakuan akan anak hasil zina dan sejenisnya, dapat menuntut
hak yang sama seperti anak sah secara hukum negara.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh M. Anshary, dalam bukunya
yang berjudul “Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Nasional” namun kajiannya masih bersifat umum dan terlalu kental dengan
paradigma hukum nasionalnya dibanding hukum islam, sedikit sekali
mencantumkan literatur yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah yang
merupakan rujukan utama hukum islam, penulis sedkit sekali mendapatkan
kajian bagaimana pandangan islam terutama fikih terkait masalah anak,
sehingga penulis mengacu kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait
status hukum anak tersebut. disamping itu Putusan Mahkamah Konstitusi
terkait permasalahan tersebut bisa menjadi pintu untuk pengakuan anak zina
disatu sisi, namun tinjauan dari Majelis Ulama Indonesia yang tegas menolak
anak hasil zina. Meski sebenarnya Majelis Ulama Indonesia tidak menafikan,
bahwa ayah biologis tetap bertanggung jawab dan menunaikan
kewajibannya.
Penulis melakukan kajian terkait permasalahan dalam beberapa literatur
fikih klasik yaitu Kitab Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid karya
Ibnu Rusyd. Dalam kitab ini beliau menyinggung tentang permasalahan
dalam pembahasan terkait pengakuan anak secara komprehensif.. Sementara
itu Syekh Wahbah az Zuhaili dalam kitabnya al-Fikhul Islâmi wa Adillatuhu
menyebutkan bab khusus tentang al-Ahwâl a-s-Syakhsiyah, yang terbagi
menjadi tiga bagian besar yaitu: bab tentang perwalian, bab tentang keluarga
secara umum yang terdiri dari hukum keluarga, perceraian, mahar, nafkah
dan lain-lain. Serta bab ketiga tentang hukum harta keluarga berupa warisan
dan wasiat.