dc.description.abstract |
Dewasa ini, perbincangan mengenai demokrasi di Indonesia
tampaknya masih menjadi topik yang belum selesai. Sebagian menganggap
demokrasi boleh diadopsi, sementara sebagian yang lain menolaknya secara
mentah-mentah. Adapun Buya Hamka termasuk salah satu tokoh yang
menengahi kedua pendapat tersebut dengan menggagas sebuah konsep
cemerlang yang ia namai dengan “Demokrasi Takwa”.
Adapun tujuan penelitian ini di antaranya yaitu pertama untuk
menganalisis penafsiran Hamka terkait Demokrasi Takwa dalam tafsirnya,
Tafsir Al-Azhar dan argumentasinya dalam karya-karyanya yang lain.
Kemudian, kedua untuk meninjau relevansi penafsiran Hamka terkait
Demokrasi Takwa dalam konteks masa kini dengan menggunakan teori
relevansi Sperber dan Wilson. Sementara, perbedaan penelitian penulis dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yaitu penelitian lalu mengenai konsep
Demokrasi Takwa cenderung lebih umum, sebab kebanyakan mengambil
pemikiran Hamka dari karya-karya selain Tafsir Al-Azhar, dan
pembahasannya jauh lebih luas, sedangkan penelitian yang penulis lakukan
cenderung memberikan fokus kepada pemikiran Hamka terkait konsepnya
tersebut di dalam Tafsir Al-Azhar, sehingga dapat dilihat sejauh mana
pemikirannya terkait konsep ini di dalam tafsirnya. Adapun jenis penelitian ini
termasuk ke dalam penelitian kepustakaan, sedangkan metode yang digunakan
adalah kualitatif dan bersifat deskriptif-analitik. Teknik yang digunakan
penulis dalam menyusun skripsi ini adalah menggunakan teknik dokumentasi.
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan politik-historis.
Berikut merupakan hasil penelitian sekaligus kesimpulan daripada
penelitian ini, di antaranya yaitu pertama, Hamka mengartikan kata “khalīfah”
sebagai “pengganti”, namun bukan pengganti daripada kedudukan Allah itu
sendiri, melainkan seseorang yang diangkat sebagai pemimpin disertai dengan
perintah-perintah tertentu. Pada hakikatnya, setiap manusia itu derajatnya
sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian,
seorang pemimpin tidak boleh merasa unggul dan sewenang-wenang terhadap
rakyat yang dipimpinnya. Kedua, Hamka menegaskan bahwasannya inti dari kehidupan bermasyarakat adalah syūrā. Hendaknya umat muslim senantiasa
menyelesaikan urusan bersama mereka dengan syūrā sesuai dengan cara
pelaksanaan yang berdasar situasi dan kondisi masing-masing tempat. Ketiga,
takwa merupakan kunci utama yang berperan sebagai pembeda antara konsep
Demokrasi Takwa dengan Demokrasi Barat. Takwa berperan penting dalam
menentukan segala urusan, misalnya keputusan musyawarah dan dalam hal
menjalankan pemerintahan |
en_US |