Abstract:
Pandangan manusia saat ini cenderung mengaitkan kerugian dengan
aspek materi atau duniawi, seperti memiliki harta yang terbatas, jabatan
rendah, anak-anaknya berpendidikan rendah, selalu mengalami kesulitan,
serta sering mendapat musibah dalam kehidupan. Namun, dalam Al-Qur’an,
kerugian tidak hanya dikaitkan dengan kehilangan materi atau bisnis yang
tidak menguntungkan, tetapi juga mengajarkan perspektif yang lebih luas
tentang kerugian, termasuk kerugian dalam aspek rohani, moral dan akhirat.
Dalam hal ini, penulis ingin mengkaji tentang hakikat kerugian seseorang
yang terkandung dalam Al-Qur’an, dengan tujuan untuk menjelaskan kepada
manusia bahwa, kerugian tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga di akhirat.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, teknik pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentatif, sumber data
primer, penulis menggunakan kitab Tafsīr Marāh Labīd karya Nawawi alBantani dan tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Sumber data sekunder
diambil dari kitab tafsir, kitab hadits, buku, Skripsi, jurnal, artikel dan kamus
arab. Adapun metode yang digunakan penulis adalah metode deskriptif
analisis komparatif. Sebagai pisau analisis, Penulis akan menggunakan
pendekatan Maudhu’I dari Abdul Hayy al-Farmawi.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah; Pertama, Nawawi alBantani dan Quraish Shihab sepakat bahwa orang yang rugi menurut
perspektif Al-Qur’an adalah mereka yang celaka dan binasa sehingga
mendapat siksaan di akhirat. Kedua, Nawawi al-Bantani dan Quraish Shihab
terdapat perbedaan dalam menjelaskan makna rugi, Nawawi al-Bantani
menjelaskan bahwa hakikat kerugian seseorang, baru terungkap ketika di
akhirat, seperti tidak mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan
perlindungan dari Allah Swt. Sedangkan M. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa rugi adalah apabila seseorang tidak meraih keuntungan dari modal yang
dia miliki, apalagi sampai modalnya berkurang, maka dia akan lebih rugi lagi,
menyia-nyiakan sesuatu yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk meraih keuntungan, dan tidak mendapatkan anugerah dari Allah Swt. Ketiga,
relevansi penafsiran keduanya terhadap orang yang rugi bahwa segala sesuatu
yang menimpa seseorang, tidak selalu bernilai buruk dan merugikan, tetapi
juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.