Abstract:
Keberagaman adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Ia adalah sunatullâh yang seharusnya dilakukan tanpa persetujuan. Ketika keberagaman dikombinasikan dengan berbagai asumsi kebenaran, sikap intoleran muncul. Masalah ini disebabkan oleh kesalahan dalam memahami pesan toleransi agama, yang menyebabkan pemeluknya muncul dengan wajah yang berbeda. Oleh karena itu, Al-Qur’ān menjelaskan apa sebenarnya toleransi dalam ajaran Islam. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan analisis komparatif tentang bagaimana penafsiran Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab terkait dengan toleransi beragama, serta penguatan dari latar sosio-historis keduanya terhadap penafsiran tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi komparatif. Pengumpulan datanya terdiri dari studi pustaka dan observasi. Analisis deskriptif digunakan dalam metode analisis komparatif.
Teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann adalah salah satu teori yang digunakan untuk memperkuat penelitian sebagai alat bedah. Teori ini menjelaskan bahwa sebuah karya atau teks adalah karya pengarangnya sendiri, bersama dengan kenyataan sejarah yang mengondisikan munculnya karya atau teks tersebut. Untuk meningkatkan analisis penelitian ini, juga digunakan pembahsan ulama dan mufasir ayat-ayat Al-Qur’ān yang berkaitan dengan toleransi beragama.
Penelitian menunjukkan bahwa Hamka dan Ali As-Ṣabūnī secara umum setuju bahwa pemaksaan dalam memeluk agama tidak boleh. Namun, Hamka mengarahkan makna toleransi beragama dengan syarat dan batasan yang berlaku.
Kajian ini juga menyimpulkan bahwa kecenderungan penafsiran umum dan khusus mengenai puisi-puisi toleransi beragama tidak lepas dari konteks sosio-historis masing-masing komunitas di mana kedua tokoh tersebut hidup asumsi itu Karya kedua tokoh tersebut bukan hanya karya pribadi, namun juga karya komunitasnya masing-masing serta realitas sosial dan sejarah pada zamannya masing-masing.