Abstract:
Kajian I’jaz Al-Qur’an telah memenuhi perpustakaan umat Islam selama berabad-abad. Sejak awal diturunkan, Al-Qur’an telah menantang (tahaddy) bangsa arab untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’an. tantangan berlaku untuk seluruh manusia selamanya. Unsur lughawi merupakan unsur yang paling luas dalam kajian I’jaz Al-Qur’an, mayoritas ulama menyebutkan tentang letak I’jaz Al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai unsur lughawi.
Diantara tafsir yang konsen terhadap I’jaz Al-Qur’an adalah tafsir karya Ali bin Ahmad Al-Mahaimy yang berjudul Tabshiru ar-Rahman wa Taysiru Al-Mannan bi Ba’dhi ma Yusyiru ila I’jaz Al-Qur’an. Tafsir ini sebagaimana tafsir lain karya ulama India masih kurang mendapat perhatian dibanding karya ulama India di bidang hadis. Sementara kalimat “…bi Ba’dhi ma Yusyiru ila I’jaz Al-Qur’an” dalam judul mengundang perhatian penulis untuk menemukan apa yang ia maksud sebagai I’jaz Al-Qur’an dalam tafsirnya tersebut.
Penelitian ini fokus pada kajian nazhmul Qur’an, rabthul kalimat, tartibul ayat, munasabat, basmalah, takrar, asbab tasmiyati as-suwar, dan maqashid, sebagai beberapa unsur yang disebutkan al-Mahaimy dalam muqaddimah tafsirnya.
Hasil akhir dari penelitian ini adalah 3 unsur pokok yaitu nazhmul Qur’an, rabthul kalimat dan tartibul ayat bermuara pada ilmu munasabat. Al-Mahaimy meyakini letak I’jaz Al-Qur’an adalah pada unsur nazhm Al-Qur’an yang berbeda dengan susunan perkataan manusia biasa. Menurutnya, untaian kalimat-kalimat Al-Qur’an merupakan jawami’ul-kalim. Dan ayat-ayatnya adalah lawami’ul-ayat (ayat-ayat yang bersinar) yang tak dapat tergantikan dengan lainnya. Unsur-unsur I’jaz Al-Qur’an dalam kitab tafsir al-Mahaimy mencakup nazhmul Qur’an, rabthul kalimat, tartibul ayat, munasabat, takrar, basmalah, asbab tasmiyatis-suwar dan maqashid.
Dalam menggunakan ilmu munasabat ia berprinsip untuk menghindari takalluf, agar tidak terjadi cacat dan mendatangkan kebosanan pembaca. Tafsir basmalah dan maqashid ia kaitkan dengan asbab tasmiyatis-suwar. Sedangkan unsur takrar dalam Al-Qur’an dikembalikan kepada prinsip “setiap kata adalah raja bagi tempatnya, setiap ayat adalah bukti dan petunjuk untuk ayat yang berada sebelum dan setelahnya” sehingga setiap ayat meskipun mirip dan terulang haruslah ditafsirkan sesuai konteks ayat-ayat yang menyertainya.