Abstract:
Tesis ini mengkaji penafsiran Surah At-Taubah ayat 28, yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” Pernyataan ini memunculkan pertanyaan teologis yang penting: Apakah kenajisan yang dimaksud dalam ayat tersebut bersifat fisik (material) ataukah maknawi (spiritual)? Ayat ini diturunkan setelah peristiwa Fathu Makkah, yaitu saat yang sangat menentukan dalam sejarah Islam ketika Kaʿbah dibersihkan dari simbol-simbol penyembahan berhala dan segala bentuk praktik paganisme.
Penelitian ini menggunakan pendekatan tafsir bi al-maʾtsūr, yakni metode penafsiran Al-Qur’an yang berbasis pada riwayat yang bersumber dari Nabi Saw, para sahabat, dan generasi awal umat Islam (salaf aṣ-ṣāliḥ). Fokus utama diarahkan pada dua karya tafsir monumental: "Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm" karya Ibn Katsīr dan "ad-Durr al-Manthūr" karya Jalāl ad-Dīn as-Suyūṭī. Selain menelaah makna lafaz “najis” dalam konteks deskripsi terhadap kaum musyrikin, penelitian ini juga menelusuri serta menganalisis secara kritis hadis-hadis yang dikutip dalam kedua kitab tafsir tersebut berkaitan dengan ayat ini.
Metode yang digunakan bersifat deskriptif-kualitatif, dengan memanfaatkan ilmu takhrīj al-ḥadīth untuk mengidentifikasi keautentikan dan sumber periwayatan masing-masing hadis. Sumber utama penelitian ini adalah QS. At-Taubah ayat 28 dan hadis-hadis Nabi yang termuat dalam kedua tafsir tersebut, sedangkan sumber-sumber sekunder meliputi literatur ulama klasik maupun kontemporer yang relevan secara tematik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibn Katsīr menerapkan standar seleksi yang sangat ketat, hanya mencantumkan hadis-hadis yang sahih Sebaliknya, as-Suyūṭī cenderung menggunakan pendekatan yang lebih inklusif, menghimpun berbagai riwayat dari beragam jalur transmisi, namun tetap menjaga integritas ilmiah dengan mencantumkan sumber-sumber yang terpercaya dan perawi yang dikenal kredibilitasnya. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa istilah “najis” dalam ayat tersebut tidak merujuk pada kenajisan fisik (material), melainkan kepada kenajisan maknawi (spritual) yang berkaitan dengan akidah dan keyakinan syirik.