Abstract:
Latar belakang penelitian ini didasari oleh fenomena konsumerisme
modern yang menyebabkan pergeseran pemahaman dan implementasi
etika konsumsi Islam, menciptakan kesenjangan antara norma agama dan
praktik hidup sehari-hari. Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis
penafsiran kedua mufassir terhadap konsep isrāf dan tabżīr,
membandingkan persamaan dan perbedaannya, serta mengkaji
relevansinya dalam kehidupan Muslim modern melalui lensa teori
fungsionalisme sosiologi Émile Durkheim. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang cenderung membahas konsep isrāf dan tabżīr secara
umum atau hanya fokus pada satu karya tafsir, penelitian ini secara spesifik
melakukan studi komparatif mendalam terhadap dua mufassir monumental
dari latar belakang sosio-historis yang berbeda; Al-Marāgī (Mesir,
modernis-reformis) dan Hamka (Indonesia, dakwah-kebudayaan
Nusantara).
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
pendekatan library research (kajian kepustakaan), didukung oleh teknik
dokumentasi untuk pengumpulan data. Analisis data dilakukan
menggunakan metode analisis isi (content analysis) secara komparatif,
dengan mengkaji ayat-ayat kunci terkait isrāf (QS. Al-A’rāf [7]: 31, QS.
Ṭāhā [20]: 127, QS. Al-Furqān [25]: 67, QS. Al-Zumar [39]: 53) dan tabżīr
(QS. Al-Isrā [17]: 26-27). Pendekatan sosiologi fungsionalisme Durkheim
digunakan untuk menganalisis bagaimana konsep-konsep ini berfungsi
sebagai norma kolektif yang menjaga solidaritas dan stabilitas sosial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Al-Marāgī dan Hamka memiliki
persamaan fundamental dalam menafsirkan isrāf dan tabżīr sebagai
perilaku tercela yang dilarang Islam, menganjurkan moderasi, dan
mengaitkan pemborosan dengan sifat setan. Namun, terdapat perbedaan penekanan; Al-Marāgī lebih detail dalam klasifikasi bentuk isrāf dan
dampak sistemiknya, sementara Hamka lebih menyoroti dimensi moral,
spiritual, dan relevansi personal dengan contoh-contoh aplikatif dari
budaya Nusantara. Pada QS. Al-A’rāf [7]: 31, keduanya menekankan
xix
moderasi dalam konsumsi dan berpakaian. Pada QS. Ṭāhā [20]: 127, isrāf
diartikan sebagai melampaui batas dalam dosa yang berujung pada
kesengsaraan. Pada QS. Al-Furqān [25]: 67, keduanya menyerukan
keseimbangan dalam berinfak. Pada QS. Al-Zumar [39]: 53, isrāf
dimaknai sebagai berlebihan dalam maksiat, namun Allah tetap membuka
pintu ampunan. Terakhir, pada QS. Al-Isrā [17]: 26-27, tabżīr secara tegas
diidentifikasi sebagai penghamburan harta yang sia-sia dan perbuatan
"saudara setan." Relevansi konsep-konsep ini dalam kehidupan Muslim
modern sangat tinggi, berfungsi sebagai fakta sosial yang esensial untuk
menjaga solidaritas sosial, mencegah anomie akibat konsumerisme berlebihan, dan mendorong pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan,
sejalan dengan kerangka fungsionalisme Durkheim.