| dc.description.abstract |
Fenomena roasting yang marak di media sosial telah menjadi bagian
dari budaya digital masa kini, khususnya di kalangan remaja. Meski sering
dianggap sebagai humor yang menghibur, praktik ini kerap melampaui batas
etika hingga berubah menjadi penghinaan, pelecehan verbal,
bahkan cyberbullying. Masalah muncul saat roasting dilakukan tanpa
persetujuan atau menyasar aspek pribadi seperti fisik dan latar belakang
seseorang, yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai komunikasi Islami.
Penelitian ini berbeda dari kajian sebelumnya yang umumnya
membahas roasting dari sisi linguistik, sosiologis, atau hiburan. Kajian ini
menggunakan perspektif Al-Qur’an dengan pendekatan tafsir tematik
(maudhū‘i), berfokus pada penafsiran Wahbah az-Zuḥaylī terhadap QS. AlḤujurāt ayat 11 dan QS. Al-Humazah ayat 1. Tujuannya adalah menggali
bagaimana Islam memandang bentuk komunikasi menyakitkan meski
dibungkus dalam bingkai humor.
Penafsiran Wahbah az-Zuḥaylī dalam Tafsīr al-Munīr menegaskan bahwa
bentuk komunikasi negatif seperti mengejek (yaskhar), mencela (talmizū),
memberi julukan yang merendahkan (tanābazū), serta mengumpat dan
mencela (humazahdan lumazah) merupakan perilaku yang dilarang karena
merusak kehormatan dan martabat individu. Dalam konteks roasting di media
sosial, ayat-ayat ini menjadi pijakan penting dalam menilai batas etis sebuah
humor. Roasting hanya dapat dibenarkan jika dilakukan dengan persetujuan,
menjaga adab, dan tidak menyentuh aspek pribadi yang sensitif. Jika
melanggar prinsip tersebut, pelaku wajib bertaubat dan meminta maaf. Dengan
demikian, penafsiran tematik atas QS. Al-Ḥujurāt:11 dan QS. Al-Humazah:1
memberikan dasar moral dan religius dalam menyikapi komunikasi digital
agar tetap selaras dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi kehormatan
manusia. |
en_US |