| dc.description.abstract |
QS. al-Aḥzāb ayat 33 kerap ditafsirkan sebagai pembatasan peran
perempuan di ruang publik, sehingga menimbulkan potensi bias gender.
Sementara itu, realitas saat ini menunjukkan bahwa perempuan semakin aktif
dalam berbagai bidang kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
penafsiran ayat tersebut dalam tiga periode klasik (al-Ṭabarī), pertengahan (alMāwardī), dan kontemporer (Sayyid Quṭb) guna menelusuri perkembangan
pandangan tentang perempuan serta mengidentifikasi kecenderungan bias atau
nilai keadilan gender dalam tafsir masing-masing. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang cenderung fokus pada satu tafsir atau hanya dua periode,
penelitian ini menawarkan analisis komparatif lintas zaman, sehingga mampu
menelusuri dinamika perubahan tafsir secara lebih utuh dan mendalam.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan penelitian
pustaka, menjadikan Tafsir Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy Al-Qur’ān, Tafsir
Al-Nukat wa al-‘Uyūn, dan Tafsir Fī Ẓilāl Al-Qur’ān sebagai sumber primer
dan literatur ilmiah sebagai sumber sekunder. Data dikumpulkan melalui
dokumentasi, kemudian dianalisis secara deskriptif-analitis-komparatif
dengan pendekatan sosio historis dengan teori hermeneutika feminis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Al-Ṭabarī menafsirkan QS. alAḥzāb ayat 33 dengan pendekatan riwayat yang menekankan ketenangan
perempuan di rumah tanpa menutup kemungkinan aktivitas publik selama
sesuai syariat. Al-Māwardī menggunakan corak fikih normatif yang
menekankan pembatasan peran publik perempuan. Sayyid Quṭb, dengan
pendekatan ideologis, memprioritaskan peran domestik namun tetap
mengakui keterlibatan perempuan di ruang publik dalam kondisi terbatas.
Ketiganya sepakat bahwa ayat ini menekankan kehormatan, larangan tabarruj,
dan pentingnya ibadah. Perbedaan terletak pada pemaknaan “tinggal di
rumah” dan sejauh mana perempuan dapat hadir di ruang publik. Dan dalam
perspektif gender, al-Ṭabarī lebih netral, al-Māwardī lebih konservatif, dan
Sayyid Quṭb mengambil posisi tengah. Perbedaan ini dipengaruhi oleh
pendekatan metodologis dan konteks sosial masing-masing mufasir. |
en_US |