Abstract:
Al-Qur’an menyimpan kekayaan ilmu pengetahuan dalam ayat-ayat
kauniyah yang menggambarkan fenomena alam, salah satunya adalah
kegelapan di dasar laut sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nūr [24]: 40.
Ayat ini memiliki makna multidimensi dan kerap dikaji dari sudut pandang
ilmiah, terutama dalam konteks oseanografi modern. Namun demikian, aspek
spiritual dan pesan ilahiah di balik penggambaran alam tersebut belum banyak
dikaji secara mendalam.
Penelitian ini berfokus pada dua pokok permasalahan, yaitu penafsiran
Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Zaglūl al-Najjār terhadap kegelapan dasar laut dalam
QS. An-Nūr [24]: 40, serta analisis persamaan dan perbedaan antara penafsiran
dalam Mafātīḥ al-Ghayb dan Al-Āyāt al-Kawniyyah fī al-Qur’ān al-Karīm
terhadap ayat tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
jenis penelitian kepustakaan serta menerapkan pendekatan komparatif sebagai
kerangka analisis untuk mengkaji kedua model penafsiran secara kritis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzī
menggunakan pendekatan balāghī yaitu tasybīh tamtsīlī dalam menafsirkan
ayat ini, sebagai perumpamaan bagi kondisi batin orang kafir yang diliputi
oleh kegelapan spiritual yang bertingkat-tingkat. Sedangkan Zaglūl al-Najjār
menggunakan pendekatan ilmu oseanografi menjelaskan tentang laut dalam
yang terdapat gelombang internal, dan proses atmosfer. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pendekatan klasik dan ilmiah dapat saling melengkapi
dalam memahami makna ayat-ayat kauniyyah. Perbandingan ini
mencerminkan perkembangan metodologi tafsir serta pentingnya keterbukaan
terhadap berbagai pendekatan. Integrasi kedua perspektif menghasilkan
pemahaman yang lebih komprehensif, baik dari sisi spiritual maupun saintifik
dalam menafsirkan QS. An-Nūr [24]: 40.