Abstract:
Penyalinan mushaf Al-Qur’an secara tradisional di Nusantara
merupakan bagian penting dari warisan intelektual Islam, namun tidak
terlepas dari tantangan teknis, khususnya dalam aspek konsistensi
penggunaan tanda baca (ḍabṭ). Ketidakteraturan dalam pembubuhan tanda
baca dapat menimbulkan kesalahpahaman, terutama bagi masyarakat yang
belum memahami konteks sejarah serta proses penyalinan mushaf kuno.
Salah satu mushaf yang menarik untuk dikaji adalah manuskrip mushaf
kuno koleksi Museum Situs Cagar Budaya Candi Cangkuang, Garut, Jawa
Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah konsistensi penggunaan
sebelas kaidah ḍabṭ yang meliputi harakat, tanwin dan nun sukun, sukun,
tasydid, mad, hamzah, bacaan ghārib, huruf yang di hilangkan dan
ditambah rasm-nya, serta lam-alif.
Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kualitatif dengan
pendekatan kepustakaan (library research) dan observasi langsung ke
lokasi manuskrip. Adapun Analisis dilakukan dengan mengacu pada teori
ilmu ḍabṭ yang dikembangkan oleh Muḥammad Sālim al-Muhāisin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ḍabṭ pada mushaf ini
belum sepenuhnya konsisten. Beberapa kaidah seperti harakat, sukun, dan
tasydid diterapkan dengan cukup baik, namun ditemukan
ketidakkonsistenan dalam penerapan mad lāzim, mad badal, pemberian
tanda baca pada hamzah dan ketiadaan tanda bacaan ghārib dikarenakan
kurang lengkapnya mushaf yang ditemukan. Temuan ini menunjukkan
adanya keterbatasan dalam penerapan standar penulisan mushaf serta
mencerminkan dinamika lokal dalam tradisi penyalinan Al-Qur’an di
Nusantara.