| dc.description.abstract |
Isu kenabian perempuan dalam Islam masih menjadi perdebatan yang relevan
hingga saat ini. Meskipun mayoritas ulama berpandangan bahwa kenabian
hanya diperuntukkan bagi laki-laki, kemunculan tokoh-tokoh perempuan
dalam Al-Qur’an yang menerima wahyu dan menunjukkan kualitas spiritual
tinggi, seperti Maryam dan ibu Nabi Musa, memunculkan pertanyaan baru
tentang kemungkinan perempuan mencapai maqam kenabian.
Penelitian ini mengkaji pandangan dua mufassir dari era berbeda
terhadap isu tersebut, yaitu Fakhruddin ar-Razi (W. 1209 M) melalui Mafātīḥul
Ghaib sebagai representasi tafsir klasik dan Quraish Shihab (L. 1944 M)
melalui Tafsir Al-Misbah sebagai representasi tafsir kontemporer, dengan
fokus pada QS. Āli ‘Imrān [3]:42, QS. Maryam [19]:16–21, dan QS. al-Qaṣaṣ
[28]:7.
Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan historisfilosofis dan strukturalisme genetik, serta teknik analisis komparatif, guna
menelaah pengaruh konteks sosial-intelektual dan cara berpikir masingmasing mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat terkait.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Fakhruddin ar-Razi secara tegas
menolak konsep kenabian perempuan, dengan alasan bahwa Al-Qur’an
menyebut para nabi dalam bentuk maskulin. Sebaliknya, Quraish Shihab
membuka ruang tafsir dengan lebih inklusif terhadap pengalaman spiritual
perempuan, terlebih ketika membahas Maryam, ia cenderung mensifati
Maryam seperti sifat nabi. Meskipun tidak menyebut Maryam sebagai nabi secara eksplisit. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi awal
dalam wacana tafsir yang lebih sensitif terhadap isu perempuan, serta
mendorong pengembangan pemikiran Islam yang lebih responsif terhadap
realitas kontemporer. |
en_US |