| dc.description.abstract |
Kajian ini dilatarbelakangi
oleh perbedaan pandangan para mufassir mengenai status Zūlqarnain yang
menimbulkan diskursus panjang melibatkan aspek sejarah, bahasa, dan
teologi. Persoalan tersebut menjadi penting untuk dikaji kembali, karena
penafsiran Fakhruddīn al-Rāzī dan Sayyid Quṭb tidak hanya berkaitan dengan
identitas Zūlqarnain, tetapi juga memiliki relevansi dalam menentukan kriteria
pemimpin yang ideal pada masa sekarang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis argumentasi yang
digunakan kedua mufassir dalam menafsirkan QS. al-Kahf ayat 83–98, dengan
menyoroti pendekatan linguistik, historis, dan teologis. Permasalahan yang
dikaji berfokus pada pro dan kontra mengenai status kenabian Zūlqarnain,
sekaligus menegaskan bahwa kisah tersebut belum optimal dimanfaatkan
sebagai pijakan konseptual dalam membangun pemahaman tentang
kepemimpinan yang adil, berintegritas, dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat modern.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan
jenis penelitian library research. Data primer diperoleh dari Tafsīr al-Kabīr
dan Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, sedangkan data sekunder bersumber dari literatur
tafsir, buku, dan jurnal yang relevan. Analisis dilakukan dengan metode
komparatif untuk menelaah persamaan, perbedaan, serta landasan penafsiran
kedua tokoh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Fakhruddīn al-Rāzī
mempertahankan kemungkinan kenabian Zūlqarnain dengan menitikberatkan
pada redaksi ayat dan dalīl naqlī, sedangkan Sayyid Quṭb memandang Zūlqarnain sebagai pemimpin saleh yang diangkat Allah untuk menegakkan
keadilan dengan pendekatan sosiologis dan moral. Perbedaan ini
mencerminkan corak dan metodologi penafsiran keduanya, serta menunjukkan
bahwa isu kenabian Zūlqarnain bersifat ijtihādīyah. Adapun relevansinya,
kedua tafsir ini sama-sama memberikan kontribusi dalam merumuskan prinsip
kepemimpinan yang ideal bagi masyarakat modern. |
en_US |