| dc.description.abstract |
Kajian mengenai istilah ta’wīl dalam Al-Qur’an menunjukkan adanya
keragaman makna dan penggunaan yang menarik untuk ditelaah. Istilah ta’wīl
tercatat sebanyak tujuh belas kali dalam Al-Qur’an dengan variasi konteks yang
berbeda. Sebaliknya, jika kita bandingkan dengan istilah tafsīr hanya sekali disebut
dalam Al-Qur’an, yaitu pada periode Makkiyah dalam QS. Al-Furqān [25]:33.
Menariknya, istilah ta’wīl telah populer sejak masa Nabi dan sahabat, hal ini
terbukti dari doa Nabi kepada Ibn ‘Abbās dengan menyebut kata ta’wīl alih-alih
tafsīr. Dalam karya tafsir awal, seperti Jāmi‘ al-Bayān karya al-Ṭabarī dan alKashshāf istilah ta’wīl lebih dominan digunakan meskipun dalam perkembangan
selanjutnya istilah tafsīr menjadi lebih populer. Fenomena inilah yang mendorong
penulis untuk meneliti makna ta’wīl dalam Al-Qur’an dengan menggunakan
pendekatan semantik Toshihiko Izutsu.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna ta’wīl dalam Al-Qur’an
dengan metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dengan menelaah makna dasar
dan relasional, serta menelusuri perkembangan historisnya sekaligus merumuskan
weltanschauung yang melandasi konsep tersebut.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi
kepustakaan, di mana sumber primer berasal dari Al-Qur’an beserta terjemahannya,
sedangkan sumber sekunder diperoleh dari kitab-kitab tafsir, karya-karya Toshihiko
Izutsu, buku, kamus, jurnal dan literatur ilmiah yang relevan dan kredibel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, makna dasar ta’wīl adalah
“kembali”, namun dalam konteks relasional istilah ini berkembang menjadi
penafsiran dan penjelasan. Ta’wīl adalah memalingkan lafaz dari makna ẓāhir (yang
tampak) kepada makna lain yang lebih tepat, karena adanya qarinah (indikasi atau
dalil yang menyertainya). Kedua, secara sinkronik pada periode pra-Qur’anik ta’wīl
digunakan dalam syair dan ramalan dengan arti prediksi atau pertanda, pada masa
Qur’anik dalam ayat-ayat Makkiyah ta’wīl lebih terkait dengan penafsiran mimpi dan akibat perbuatan, sementara dalam ayat-ayat Madaniyah berhubungan dengan
penjelasan ayat-ayat mutasyābihāt. Adapun pada masa pasca-Qur’anik, konsep ini
berkembang melalui tradisi tafsir klasik, tasawuf, filsafat Islam, hingga pendekatan
hermeneutika modern. Ketiga, weltanschauung makna ta’wīl dalam Al-Qur’an
menekankan bahwa pemahaman teks tidak berhenti pada aspek lahiriah (ẓāhir),
melainkan juga mencakup upaya menyingkap makna batiniah (bāṭin). |
en_US |