Abstract:
Maraknya berbagai konflik dalam suatu negara, khususnya negara
Islam yang ada di dunia, menjadi pertanyaan tersendiri bagaimana penerapan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selaku muslim
kita menginginkan kondisi masyarakat atau bangsa yang selalu ada dalam
lindungan Allah, yang dalam bahasa kita sering disebut negara yang subur
makmur, gemah ripah loh jinawi, yakni negara dengan predikat “baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafûr”. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
mampukah mewujudkan kondisi seperti yang diinginkan tersebut, sementara
persoalan bangsa kian hari terasa semakin kompleks. Masalah disintegrasi
bangsa yang sewaktu-waktu bisa terpicu, ketenagakerjaan yang tak kunjung
selesai, makin sulitnya masyarakat dalam mencari keadilan, tindakan anarkis
dalam upaya mencapai tujuan, dekadensi moral akibat dari keterbukaan yang
sudah melampaui batas-batas kewajaran dan lain sebagainya bisa dianggap
sebagai ancaman yang bisa menggagalkan terwujudnya bangsa atau negara
yang diidam-idamkan.
Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan tafsir al-Azhar
dan al-Mishbah terhadap ayat-ayat kenegaraan khususnya terkait prinsip
bernegara dan etika berbangsa di dalam negara yang penuh dengan
keragaman termasuk keragaman agama.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian telaah pustaka ini merupakan penelitian
kualitatif dengan sumber data primer yaitu tafsir al-Azhar dan al-Mishbah
dan data sekunder berupa buku-buku yang relevan. Dalam pengumpulan
data, penulis menggunakan penelusuran kepustakaan dan metode
dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis isi (content
analysis) dan teknik analisis deskripsi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Pada QS. Ali Imran [3]:
159, Buya Hamka dan M. Quraish Shihab sepakat bahwa musyawarah
merupakan prinsip dasar untuk menjalankan pemerintahan dalam Islam. (2)
Pada QS. An-Nisa’ [4]: 58, Buya Hamka menafsirkan ayat ini yang berisi
amanah dan adil sebagai prinsip dasar pemerintahan Islam pula. Akan tetapi
M. Quraish Shihab menafsirkan amanah disini lebih umum, tidak fokus
untuk pemerintahan dan perintah adil berlaku untuk orang yang akan
menetapkan hukum dalam segala bidang. (3) Pada QS. Al-Hujurat [49]: 13,
Buya Hamka dan M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa kedudukan
manusia di dunia pada dasarnya sama, tak perlu membedakan manusia
berdasarkan ras, suku, golongan bahkan agama. (4) Pada QS. Al-Isrâ [17]:
16, Buya Hamka dan M. Quraish Shihab sepakat bahwa pemerintah wajib
mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam mengambil suatu kebijakan.
(5) Pada QS. Al-Mumtahanah [60] : 8, baik Buya Hamka maupun M.
Quraish Shihab sepakat bahwa tidak ada larangan untuk berbuat baik dan
adil kepada non-muslim selama non-muslim tersebut tidak mengusir dan
mengusik umat Islam. (6) Pada QS. Al-Baqarah [2]: 256, Buya Hamka dan
M. Quraish Shihab sepakat bahwa manusia tidak berhak memaksa manusia
lain untuk menganut suatu kepercayaan tertentu. Akan tetapi Buya Hamka
memperingatkan agar ayat ini jangan sampai dijadikan celah untuk
menjatuhkan umat Islam sendiri. Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang
menambahkan penafsiran dengan tak ada paksaan disini tidak berlaku dalam
hal menjalankan hukum dalam agama tersebut. (7) Pada QS. Al-An’am [6]:
108, Buya Hamka dan M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa memaki dan
mencaci sesembahan agama lain adalah larangan tegas yang terdapat dalam
Al-Qur’an.