dc.description.abstract |
Skripsi ini menelaah tentang bagaiamana Al-Qur`an berbicara
tentang sihir, para ulama berpendapat tentang hukum mempelajari
sihir. Karena keberadaan sihir dalam kehidupan masyarakat
merupakan sebuah keniscayaan yang sampai hari ini masih
dipercayai, baik itu dari kalangan yang beragama maupun tidak.
Perkara sihir terkadang bisa membuat rusaknya interaksi sosial. Hal
ini wajar, sihir memang masuk kategori abstrak yang sulit dibuktikan
secara ilmiah. Berangkat dari permasalahan ini akhirnya penulis
terdorong untuk mengkaji lebih dalam bagaimana Al-Qur‟an
berbicara tentang sihir dengan mengambil ayat-ayat yang terkait dan
menafsirkannya dengan tafsir Al-Qur`an Al-„Azhîm, Al-Mîzân, dan
Al-Kasysyâf yang mana ketiga tafsir ini memiliki sumber penafsiran
yang berbeda.
Pada skripsi ini terdapat 2 pokok permasalahan, Pertama,
Bagaimana penafsiran ketiga mufassir tersebut terhadap ayat-ayat
yang berhubungan dengan sihir?, kedua, Apa persamaan dan
perbedaan penafsiran ketiga mufassir terhadap ayat-ayat sihir?
Metode penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan
(Library Research), maka penulis merujuk kepada Tafsir Al-Qur`an
Al-„Azhîm, Al-Mîzân, dan Al-Kasysyâf. Kemudian didukung oleh
data dari literature yang berkaitan dengan penelitian ini. selanjutnya
pengumpulan data yang digunkan adalah dokumentasi. Data-data
tersebut dikumpulkan kemudian mencari titik persamaan dan
perbedaannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Pertama Sihir menurut
pandangan Ibnu Katsîr adalah sebuah proses perbuatan yang
memalingkan keadaan dari yang sebenarnya menjadi samar-samar,
sesuatu perbuatan yang dapat menimbulkan perubahan suatu zat.
Sedangkan menurut pandangan Thabathaba‟i dan Zamakhsyarî sihir
hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata dan bentuknya tidak
nyata. Kedua, Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam tafsir
Al-Qur`an Al-„Azhîm, Al-Mîzân, dan Al-Kasysyâf. tafsir Al-Qur`an
Al-„Azhîm mengatakan bahwa ilmu sihir memang ada hakikatnya,
dan bahwasanya pula para tukang sihir dapat mempengaruhi orang
yang disihir tidak lain atas izin Allah SWT sedangkan menurut
pandangan Thabathaba‟i dan Zamakhsyarî bahwa sihir tidak
mengadung hakikat sehingga mampu menguasai dan mengatur atas
segala sesuatu dan memberikan pengaruh melainkan semata-mata
permainan ketangkasan dan sulap para penyihi |
en_US |