Abstract:
Penggunaan kata Mutrafîn yang akar katanya tarofa yang artinya hidup
mewah dalam Al-Qur`an di ulang sebanyak 8 kali pada 7 surah dalam Al-
Qur`an. Gaya bahasanya yang tinggi dan memilki arti yang sangat luas
bukanlah ditempatkan Allah begitu saja. Penulis memfokuskan pandangan
para ulama ahli tafsir dalam memahami arti kata Mutrafîn tersebut, karena
hal tersebut menyebabkan terjadinnya adzab dari Allah SWT kepada umatumat
terdahulu. Kaum mutrafîn adalah kaum yang paling banyak ingkar,
takabur dan melampaui batas dalam kenikmatan dan kemewahan diantara
golongan lainnya, dia adalah kaum yang paling merasa mulia, hal ini adalah
suatu penyakit masyarakat sejak dahulu hingga sekarang yang harus diatasi
hingga tidak menjadi rintangan atau penghalang dakwah Islam dan datangnya
adzab dari pada Allah SWT.
Banyak orang salah dalam memahami arti kekayaan atau kesenangan
yang di berikan Allah padanya. “Mereka menganggap bahwa kekayaan,
kesenangan itu semata-mata karena Tuhannya telah memuliakannya", tanpa
menyadari bahwa hal itu merupakan suatu ujian, apakah dengan harta
kekayaan itu ia bersyukur atau kufur, apakah harta kekayaan itu ia penuhi
hak-haknya sepeti membayar zakat, bersedekah, memuliakan anak yatim,
memberi makan orang miskin, dan tidak mencampur baurkan yang halal dan
yang haram dan tidak mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan hingga melakukan kemaksiatan. Untuk itulah membuat penulis
melihat pentingnya untuk mengkaji lebih mendalam, tentang kemewahan
yang dapat membawa bencana seperti yang telah dijelaskan di dalam Al-
Qur`an agar para pembaca terhindar dari hal tersebut, dengan mengambil
penafsiran dari Tafsir Klasik yaitu Tafsir Ath-Thabari karya Ibn Jarir Ath-
Thabari (w. 310 H), kitab Tafsir Pertengahan yaitu Tafsir Ibnu Katsir karya
Ibnu Katsir (w. 1372 M), dan kitab Tafsir Modern yaitu Tafsir Fi Zhilâl Al-
Qur`an karya Sayyid Quthub (L. 1996 M), yang mana ketiganya merupakan
mufassir dari madzhab theologi yang sama, yaitu Sunni akan tetapi berbeda
zaman.
Karena penelitian tersebut termasuk dalam penelitian perpustakaan
(Library Research), maka penulis merujuk kepada Al-Qur`an, hadis-hadis
Rasulullah saw, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Fi Zhilâl
Al-Qur`an. Kemudian di dukung oleh data dari literature yang ada kaitannya
xvi
dengan penelitian ini. Data-data tersebut di kumpulkan seterusnya mencari
titik persamaan dan perbedaannya melalui pendekatan metode tafsir analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang cukup signifikan antara ketiga mufassir tersebut tentang pengertian
Mutrafîn. Kesimpulan dari kesemua Mufassir mengatakan Mutrafîn
merupakan orang-orang yang hidup mewah, lalai, sombong, menolak
kebenaran yang tidak pernah luput di setiap zaman, akan berkelanjutan sejak
dahulu, sekarang, hingga yang akan datang karena hidup mewah membuat
mereka mengeraskan hati, menghilangkan sensitivitasnya, merusak fitrah,
dan membutakannya sehingga tidak dapat melihat tanda-tanda petunjuk.
Akibatnya, mereka menjadi sombong atas petunjuk dan tetap berpegang pada
kebatilan, serta tidak terbuka untuk menerima cahaya, tertipu oleh nilai-nilai
palsu dan kenikmatan yang fana. Mereka juga terpesona dengan apa yang ada
pada mereka saat itu, berupa kekayaan dan kekuatan. Sehingga, mereka
menyangka hal itu akan menghalangi mereka dari adzab Allah SWT.
Bahkan, mereka memandang bahwa itu adalah tanda keridhaan Allah
terhadap mereka, atau mereka berada di tempat yang lebih tinggi dari hisab
dan balasan Allah SWT. Hati mereka ditutup dan akal mereka menjadi buta
terhadap kebenaran dengan menyekutukan Allah.
Persamaan penafsiran Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Fi Zhilâl Al-
Qur‟an terhadap ayat-ayat tentang Mutrafîn adalah mereka semua berpegang
dengan atsar-atsar dari Nabi saw, para sahabat, tabi‟in dan para ahli tafsir dan
perbedaannya adalah jika Ath-Thabari menjadikan hujah dalam
penafsirannya dengan riwayat-riwayat, Perbedaan bacaan dan syair-syair
Arab tanpa mengkoreksinya, maka Ibnu Katsir memilki kedudukan peringkat
kedua setelah Ibnu Jarir dalam keistimewaannya, beliau banyak mengoreksi
keakuratan riwayat bahkan menolaknya atau memperinagatinya jika
bertentangan dengan keahlian ilmu hadits yang dimilikinya. Sedangkaan Fi
Zhilâl Al-Qur‟an menyederhaanakan riwayat, hanya menyebutkan
maksudnya. Adapun perbedaan Mutrafîn dari ketiga zaman mufasir berbeda
di karenakan Rasulullah saw telah bersabda: “Sebaik-baiknya generasi adalah
generasi-ku kemudian generasi berikutnya kemudian generasi berikutnya.”
Maka generasi pada masa Ath-Thabari lebih lebih sedikit dan lebih sederhana
dan pada masa Ibnu Katsir para Mutrafîn bertambah banyak dan bertambah
keingkarannya sedangkan pada masa Fi Zhilâl Al-Qur‟an hingga sekarang
masa sudah mendekati akhir zaman, maka para Mutrafîn bertambah banyak
lagi bahkan sudah melampaui batas dan kerusakan yang dibuat sudah susah
dikendalikan.