Abstract:
Pada zaman modern ini seringkali orang-orang mengagungkan nilainilai
yang bersifat materi dan anti rohani, sehingga mengabaikan spiritualitas
dalam diri mereka. Banyak orang-orang yang memamerkan apa saja yang
dikerjakannya terutama soal ibadah, di dalam facebook, instagram, path,
twitter, youtube dan lain-lain, misalnya saat ia mengerjakan shalat tahajud, ia
menyebarkannya lewat media sosial dan seakan-akan ingin di pandang oleh
orang banyak bahwa ia ahli ibadah. Padahal dalam kenyataan nya hal tersebut
ditunjukkannya atas dasar kesombongan diri mereka. Dan orang yang
bersikap tawâdhu’ sekarang ini menjadi langka dan mudah dikucilkan.
Padahal apa yang dimilikinya itu adalah pemberian dari Allah SWT.
Pada skripsi ini terdapat 2 pokok permasalahan, Pertama, Bagaimana
pendapat Syekh Abdul Qâdir Al-Jailânî mengenai arti tawâdhu’, Kedua,
Bagaimana persamaan dan perbedaan diantara para mufassir lain mengenai
ayat-ayat tentang tawâdhu’.
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis,
yaitu suatu pendekatan melalui pengumpulan data dan pendapat, kemudian
diteliti dan ditelaah sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan.
Menurut Syekh Abdul Qâdir Al-Jailânî Tawâdhu’ adalah
meniscayakan pelakunya untuk memandang dirinya dengan pandangan minor
(kecil) demi menghilangkan kecenderungan sombong dan angkuh.
Sebaliknya, ia dituntut untuk memandang orang lain dengan pandangan
apresiatif (penuh penghormatan) agar tidak ada hasrat untuk berbuat zalim
(semena-mena) terhadap mereka. Kemudian tawâdhu’nya seorang hamba
kepada Allah yaitu ketika seseorang mampu menentukan posisinya di
hadapan keagungan Allah SWT, yaitu bahwa dirinya adalah nol dan tidak ada
artinya di hadapan Dzat yang Maha Mutlak dan tak terbatas.