Abstract:
Dewasa ini fenomena merajalelanya kekerasan dan pelanggaran hakhak
asasi manusia yang semakin luas dan tidak mengindahkan etika moral
dan kemanusiaan semakin bermunculan di Indonesia. Hal ini bertolak
belakang dengan Pancasila khususnya sila kedua yang menjadi dasar bahwa
Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Juga tidak sesuai
dengan ajaran agama Islam yang menjadi agama mayortias pemeluknya di
Indonesia, karena agama Islam bersifat Rahmatal lil ‘âlamîn. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana Al-Qur`an menjelaskan nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Tafsir Al-Misbah dan Al-Huda,
dengan harapan bisa menumbuhkan semangat perikemanusiaan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara khususnya untuk umat islam di
Indonesia. dan untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dasar
negara Indonesia yaitu Pancasila.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian telaah pustaka ini merupakan penelitian
kualitatif dengan sumber data primer yaitu Tafsir Al-Mishbâh dan Al-Huda
dan data sekunder berupa buku-buku yang relevan. Dalam mengumpulkan
data, penulis menggunakan penelusuran kepustakaan dan metode
dokumentasi. Analisis data penelitian ini adalah analisis isi (content analysis)
dan teknik analisis deskripsi-komparasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1)Pada QS. Al-Isra [17]:
70, Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini adalah salah satu bukti
pandangan Islam mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). (2) Pada QS. An-
Nisa [4]: 1, benang merah penafsiran ini adalah bahwa penafsiran Quraish
dan Bakri sama, yakni manusia tercipta dari satu keturunan, maka semua
manusia sama. (3) Pada QS. An-Nahl [16]: 90, Quraish Shihab dan Bakri
Syahid sependapat bahwa Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk
berbuat adil. Bakri memberi judul penafsirannya dengan judul Pokokpokoking
budi-pekerti kang utama. (4) Pada QS. Al-Baqarah [2]: 256,
Quraish Shihab dan Bakri Syahid sepakat bahwa ayat ini adalah larangan
untuk memaksakan kehendak orang lain dalam meyakini sebuah agama. (5)
Pada QS. An-Nisa [4]: 148, secara global penafsiran kedua mufassir ini sama,
yakni adanya larangan berkata buruk terhadap orang lain, kedua mufassir ini
hanya berbeda pada keterangan serta batasan mengenai apa itu perkataan
buruk, dan diperbolehkan berkata buruk dengan sebuah batasan yang seperti
xvi
apa. (6) Pada QS. Al-An‟am [6]: 108, Quraish Shihab menafsirkan ayat ini
bahwa ayat ini adalah ayat larangan untuk mencaci kepercayaan kaum
musyrik, sedang Bakri menafsirkan sebagai larangan memaki sesembahan
selain Allah, tidak spesifik menyebut kaum musyrik seperti yang dijelaskan
Quraish. (8) Pada QS. Ali-„Imran [3]: 103, Quraish dan Bakri sepakat bahwa
ayat ini tentang larangan berselisih dan bertengkar. Hanya saja, Quraish
langsung menyebutkan bahwa Allah melarang berselisih layaknya orangorang
Yahudi dan Nasrani, sedangkan Bakri tidak menjelaskan tentang
siapakah orang-orang yang berselisih tersebut. Dan penafsiran kedua
mufassir sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam sila
kedua Pancasila.