Abstract:
Penerapan hukum pidana Islam seringkali dianggap kejam dan tidak sesuai
dengan konsep HAM. Di antaranya adalah tindak pidana hirâbah yang kini kian
diperluas pemaknaannya oleh fuqaha kontemporer. Penafsiran berbasis maqâshidî
yang belakangan ini marak dibahas oleh kalangan akademisi dianggap mampu
menjembatani kesenjangan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tafsir at-
Tahrîr wa at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-
Qur'an dianggap sebagai tafsir yang berbasis maqâshidî. Oleh karena itu dalam
skripsi ini penulis berusaha mengkaji penafsiran ayat hirâbah dalam tafsir at-Tahrîr
wa at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an,
serta berusaha mengungkapkan sisi maqâshid pada ayat hirâbah dalam kedua tafsir
tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
dengan menemukan data-data berupa makna dan hukum hirâbah menurut para
fuqaha dan penafsiran hirâbah pada tafsir yang berbasis maqâshidî. Kemudian data
disajikan secara deskriptif-analitis yaitu mendeskripsikan akar kata dan hukum
pidana hirâbah, kemudian menganalisa ayat hirâbah (Surat Al-Mâidah ayat 33-34)
dalam tafsir at-tahrîr wa at-tanwîr karya Ibnu 'Âsyûr dan tafsir rawâi' al-bayân
tafsîr al-âyât al-ahkâm min Al-Qur'an karya Muhammad 'Ali ash-Shâbûnî. Analisa
yang digunakan menggunakan langkah penafsiran maqâshidî, yaitu dengan analisis
kebahasaan, identifikasi makna ayat, eksplorasi maqâshid asy-syarî`ah, dan
kontekstualisasi makna.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ayat hirâbah ditafsirkan Ibnu
'Âsyûr sebagai suatu tindakan membunuh dengan menggunakan senjata dengan
tujuan untuk merampas harta, hukumannya adalah pilihan salah satu dari bunuh,
salib, potong tangan dan kaki secara bersilangan, atau dibuang ke daerah lain, dan
jika muhârib bertobat sebelum tertangkap maka bisa menggugurkan had hirâbah
namun tidak dengan hal yang berhubungan dengan hak manusia, seperti harta dan
darah. Sedangkan ash-Shâbûnî menafsirkan ayat hirâbah dengan makna yang lebih
umum, yaitu tidak terbatas pada membawa senjata dan merampas harta, akan tetapi
segala tindakan yang mengganggu dan merusak baik itu hanya menakut-nakuti
ataupun tindakan yang lebih besar dari pada perampokan dan pembunuhan,
mengenai hukuman hirâbah ash-Shâbûnî hanya memaparkan beberapa pendapat
ulama tanpa mentarjihnya, sedangkan mengenai pertobatan muhârib, ash-Shâbûnî
mengungkapkan bahwa Allah memberi ampunan bagi pelaku hirâbah yang
bertobat sebelum tertangkap. Adapun sisi maqâshid dalam penafsiran Ibnu 'Âsyûr
adalah dengan mengungkapkan maqâshid Al-Qur'an dengan mengungkapkan `illah
sabab an-nuzûl dan `illah pensyariatan hukuman hirâbah melalui analisis makna
ayat dan kondisi historis. Sedangkan sisi maqâshid dalam penafsiran ash-Shâbûnî
lebih menitikberatkan pada hikmah pensyariatan, yaitu dengan pengungkapan nilainilai
kemaslahatan bagi semua pihak. Keduanya tidak membuat keringanan
mengenai hukuman hirâbah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an