Abstract:
Roasting dalam stand-up comedy sering digunakan untuk memberikan
kritik secara satirikal, tetapi dapat menimbulkan masalah serius jika tidak
digunakan dengan tepat. Banyak komika menyalahgunakan teknik ini untuk
merendahkan orang lain secara destruktif, dengan pernyataan kasar yang dapat
merusak keharmonisan sosial dan menciptakan ketidaknyamanan. Selain itu,
roasting seringkali mengungkapkan aib individu, memicu perdebatan, dan
menimbulkan pertanyaan tentang batasan etis serta hukum. Meski roasting
dapat menjadi alat kritik yang efektif, tanpa pengaturan yang tepat, ia berisiko
berubah menjadi ajang pelecehan dan ujaran kebencian. Oleh karena itu,
penting untuk menetapkan pedoman yang jelas agar roasting tetap konstruktif
dan tidak merugikan pihak lain.
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan kualitatif dengan
pendekatan deskriptif-komparatif, yang fokus pada fenomena roasting dalam
stand-up comedy dan kaitannya dengan etika berbicara serta humor menurut
Al-Qur'an. Kajian ini menggunakan Tafsir Al-Azhar oleh Hamka dan Tafsir
Al-Mishbah oleh Quraish Shihab sebagai sumber utama, serta mengadopsi
pendekatan komunikasi dan Teori Superioritas Humor dari Thomas Hobbes.
Adapun hasil penelitian dalam skripsi ini adalah: Pertama, Hamka dan
Quraish Shihab merepresentasikan nilai roasting dalam prinsip-prinsip islam
yang terkandung dalam penafsiran Q.S. Al-Hujura>t [49]: 11-12 seperti
larangan mengejek, merendahkan, dan mencari-cari kesalahan serta membuka
aib orang lain yang berkenaan dengan adab, etika, dan keharmonisan sosial
yang sesuai dengan ajaran islam. Kedua, dalam perbandingannya, penulis
membaginya pada 2 aspek, yakni aspek metodologi dan konten. Dari segi
metodologi, Hamka mengelompokkan ayat dalam tema dengan judul,
menggunakan contoh kehidupan sehari-hari, dan pengalaman pribadi.
Sementara Shihab mengelompokkan ayat tanpa judul, mengutip hadis dan
pendapat ulama, serta memberikan analisis rinci. Dari segi aspek konten,
keduanya menekankan adab dan moral tinggi dalam interaksi sosial, namun,
Hamka fokus pada moral dan etika individu, penjelasan kosa kata umum,
mengaitkan perilaku merendahkan dengan rasa superioritas. Sedangkan Shihab menjelaskan kosa kata secara rinci, menekankan konteks sosial,
keharmonisan masyarakat, dan dampak sosial, serta menjelaskan ghibah
sebagai ancaman terhadap integritas sosial, serta menekankan etika dan
perlunya taubah. Ketiga, penulis merumuskan batasan-batasan yang jelas terhadap fenomena roasting yang ditawarkan oleh Hamka dan Quraish Shihab
yang berfokus pada menghormati martabat orang lain, menjaga keharmonisan
sosial, dan menghindari mencari-cari kesalahan orang lain. Batasan ini sejalan
dengan ajaran Surah Al-Hujura>t ayat 11-12 dan memberikan panduan untuk
menjaga interaksi sosial tetap positif dan sesuai dengan prinsip-prinsip etika
Islam. Keduanya memberikan panduan etika yang relevan dalam mengatasi
fenomena roasting, terutama dalam konteks humor dan interaksi sosial saat ini,
yang mana tepat untuk diterapkan agar dapat menghindari perilaku yang dapat
merusak hubungan sosial dan menimbulkan ketegangan