Abstract:
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemikiran skeptis John Wansbrough terhadap
keotentikan Al-Qur’an. menurutnya beberapa unsur dari kandungan Al-Qur'an mencerminkan
konsep dan narasi yang ada dalam teks-teks agam sebelumnya seperti Taurat dan Injil. AlQur'an dipandang tidak hanya sebagai produk dari satu periode dan satu penulis, tetapi sebagai
hasil dari proses panjang yang dipengaruhi oleh interaksi tradisi Yahudi-Kristen. Hal ini
sangat bertentangan dengan pandangan tradisional yang memandang Al-Qur'an sebagai
wahyu murni dari Allah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemikiran John
Wansbrough terhadap keotentikan Al-Qur’an serta Mengkritisi pemikiran skeptisnya.
Perbedaan dengan penelitian sebelumnnya yakni, penulis memfokuskan penelitian
pemikiran John Wansbrough pada teori pengaruh tradisi Yahudi-Kristen(Juxtaposition) pada
Al-Qur’an kemudian dianalisis-kritis. Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian
kualitatif dalam bentuk library research. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah
Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, sementara sumber data
sekunder dari Kitāb Mabāḥith fī ʿUlūm al-Qurʾān, serta berbagai jurnal maupun buku. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi. Teknik analisis data dengan analysis
content. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi tokoh oleh Abdul Mustaqim dengan
membedah pemikiran tokoh disertai mengkritisi pemikirannya.
John Wansbrough berargumen bahwa Al-Qur'an dipengaruhi oleh tradisi Yahudi dan
Kristen, menganggap bahwa banyak elemen dalam Al-Qur'an, termasuk kisah-kisah dan
konsep teologis, merupakan adaptasi dari narasi-narasi dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Pemikirannya terinspirasi oleh para orientalis sebelumnya seperti Joseph Schacht dan Ignaz
Goldziher, serta dipengaruhi oleh latar belakang akademisnya di School of Oriental and
African Studies (SOAS). Wansbrough mengadopsi pendekatan rasionalisme-positivisme,
yang menolak keterkaitan transendental Al-Qur'an sebagai firman Tuhan. Namun, kritik
terhadap pemikirannya menunjukkan bahwa untuk menguji keotentikan Al-Qur'an secara
komprehensif, Wansbrough seharusnya menyertakan rujukan kajian-kajiannya dengan ilmuilmu yang melingkupi Al-Qur’an serta tidak skeptis pada kronologis maupun tradisi Islam saat
itu, guna memberikan pemahaman mendalam dan terbukti mampu menggali makna serta
menunjukkan bahwa Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi. Tanpa pendekatan ini, pandangan
Wansbrough cenderung kontradiktif dan hanya berfokus pada asumsi-asumsi dogmatis yang
berasal dari kritik Biblical, sehingga mengaburkan potensi kajian mendalam yang justru dapat
mengungkapkan keotentikan dan kemukjizatan Al-Qur'an.