Abstract:
Inovasi dalam struktur Sukuk Negara adalah penggabungan akad bai‘
wafā’ dengan akad ijarah, yang dikenal sebagai bai‘ Istiglāl, meskipun
mekanisme ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan transaksi modern,
terdapat perdebatan di kalangan ulama mengenai keabsahan akad bai‘ wafā’
sebagai dasar dari bai‘ Istiglāl. Sebagian ulama mengharamkan bai‘ wafā’
karena dianggap bertentangan dengan prinsip jual beli murni dan memiliki
kemiripan dengan praktik riba atau transaksi yang tidak jelas (garar).
Sementara itu, ulama lain memperbolehkannya dengan alasan kebutuhan
mendesak (ḍarūrah).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa studi teks
dengan menganalisis buku, literatur, dan catatan terkait. Data primer berasal
dari kitab-kitab empat Mazhab, seperti Hassiyah Rādd al-Mukhtar, Bulgah
al-Ṣalik li Aqrab al-Masalik, al-Mugni li Ibni Qudamah, dan lain sebagainya,
sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai literatur, skripsi, tesis, dan
disertasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan: Pertama, Sebab perbedaan
pendapat ulama mengenai praktik bai‘ Istiglāl disebabkan karena tidak
terdapat dalil eksplisit, perbedaan pendapat terkait unsur riba, jual beli
bersyarat, serta kemiripannya dengan gadai. Berdasarkan prinsip kebolehan
muamalah, keadilan, dan peniadaan muḍarat, bai‘ Istiglāl dapat dibolehkan
selama memenuhi syarat sah akad. Kedua, pendapat yang paling kuat adalah
pendapat ulama yang membolehkan bai‘ Istiglāl, dengan syarat akad
dilakukan secara terpisah, jelas, dan bebas dari riba, garar, serta
pengambilan harta secara batil. QS. Al-Baqarah ayat 275 dan 188 menjadi dasar normatif, didukung hadiṡ riwayat Ahmad yang memperkuat kebolehan,
serta riwayat Abu Dawud sebagai peringatan kehati-hatian. Praktik ini dinilai
sah secara syariat jika memenuhi prinsip transparansi, keriḍaan, dan
keadilan, serta relevan dengan kebutuhan muamalah kontemporer.