Abstract:
Media sosial kini menjadi pusat kehidupan digital yang tidak hanya
mengubah cara individu membangun relasi dan mengekspresikan diri, tetapi
juga mendorong munculnya gejala psikologis seperti star syndrome, di mana
pencarian validasi dan pujian menjadi prioritas dalam membentuk citra diri di
ruang publik. Star syndrome merupakan kondisi psikologis ketika seseorang
merasa dirinya paling unggul, haus akan pujian, dan menuntut pengakuan,
terutama di era media sosial yang menonjolkan citra diri. Penelitian ini
membahas fenomena star syndrome dalam perspektif Al-Qur’an dengan
mengkaji tafsir `Abd al-Qādir al-Jīlānī. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
bagaimana konsep kesombongan, riyā’, dan hasad yang dibahas dalam karyakarya al-Jīlānī dapat digunakan sebagai lensa teoritis terhadap gejala star
syndrome masa kini.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kepustakaan (library research), di mana pengumpulan data
dilakukan melalui metode dokumentasi. Kitab tafsir karya al-Jīlānī menjadi
sumber data primer dari penelitian ini, sedangkan data sekunder diperoleh dari
berbagai referensi pendukung seperti buku, skripsi, tesis, artikel jurnal, dan
literatur lain yang relevan dengan topik kajian. Analisis data dilakukan secara
deskriptif-analitis dengan menerapkan pendekatan psikologi Islam
sebagaimana dirumuskan oleh Zakiah Daradjat.
Penelitian ini menemukan bahwa star syndrome memiliki kemiripan
substansial dengan penyakit-penyakit hati seperti takabbur, riyā’, dan cinta
dunia. Al-Jīlānī memperingatkan bahwa pujian dan kelebihan duniawi dapat
menipu manusia, membutakan hati, serta menjauhkan dari makrifat dan tauhid.
Ia menenkankan pentingnya adab, tazkiyah al-nafs, dan penyucian hati untuk
menghindari jebakan ego spiritual. Temuan ini menunjukkan bahwa ajaran
sufistik klasik masih relevan untuk membaca persoalan kontemporer, terutama
dalam menganalisis krisis identitas dan haus validasi yang melanda generasi
digital.