Abstract:
Beauty privilege adalah perlakuan istimewa yang diterima individu karena
penampilan fisik sesuai standar kecantikan, yang menimbulkan ketimpangan
sosial di berbagai aspek kehidupan, seperti pekerjaan, pendidikan, dan media.
Individu yang menarik sering diasosiasikan dengan sifat positif dan
memperoleh lebih banyak peluang, sementara yang tidak dianggap menarik
cenderung didiskriminasi. Dalam Islam, penilaian terhadap manusia
didasarkan pada ketakwaan dan akhlak, bukan penampilan lahiriah. Penelitian
ini merujuk pada Tafsir Al-Miṣbāḥ dengan pendekatan adabī al-ijtimā’ī untuk
mengkaji respons Al-Qur’an terhadap fenomena beauty privilege secara
relevan, kontekstual, dan aplikatif.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif kepustakaan dengan
pendekatan tafsir tematik (mauḍu’ī) untuk menganalisis respons Al-Qur’an
terhadap beauty privilege. Data primer berasal dari Tafsīr Al-Miṣbāḥ karya M.
Quraish Shihab, didukung literatur sekunder seperti buku dan jurnal yang
relevan dengan tema riset. Data dikumpulkan melalui studi dokumentatif dan
dianalisis secara deskriptif-analitik dengan mengkaji ayat-ayat terkait secara
tematik untuk memahami pandangan Al-Qur’an tentang ketimpangan sosial
berbasis penampilan fisik.
QS. Al-Tīn [95]:4 menegaskan penciptaan manusia tidak hanya dalam
kesempurnaan fisik, tetapi juga akal dan potensi ruhani yang mulia. QS. AlMujādalah [58]:11 menyatakan derajat ditinggikan bagi yang beriman dan
berilmu. QS. Al-Ḥujurāt [49]:13 menegaskan ketakwaan sebagai ukuran
utama kemuliaan, bukan ras atau keturunan. Menurut Quraish Shihab, hal ini
menunjukkan bahwa kemuliaan manusia dalam Al-Qur’an mencakup aspek
batiniah yang lebih penting daripada aspek lahiriah. Oleh karena itu, beauty
privilege dianggap menyempitkan makna kemanusiaan dan bertolak belakang
dengan ajaran Islam yang mengedepankan kesetaraan, keadilan sosial, dan
penilaian berdasarkan karakter serta perilaku, bukan aspek fisik semata.