Abstract:
Kecendrungan rasionalistik dalam penafsiran berkembang terus dari
masa ke masa, banyak diantaranya tafsir yang mengungkapkan berbagai
macam ilmu dari Al-Qur‟an. Penulis tafsir atau mufassir beranggapan
bahwa hal tersebut merupakan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur‟an dan
bukti elastisitasnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Namun dari sisi lain hal ini justru merupakan penyimpangan yang terlalu
jauh dan tidak sesuai dengan maksud diturunkannya Al-Qur‟an , hal seperti
inilah yang dikenal dengan istilah ad-dakhȋl dalam penafsiran Al-Qur‟an.
Penelitian ini mengkaji tentang unsur ad-dakhȋl yang terdapat pada
penafsiran Fahmi Basya dalam buku Borobudur dan Peninggalan Nabi
Sulaiman. Penulis menganalisa bentuk ad-dakhȋl dalam penafsiran Fahmi
Basya serta menilai status ad-dakhȋl nya, dalam menganalisa penulis
memakai teori kritik tafsir infiiltratif (ad-dakhȋ) Ahmad Fayed. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif berbasis
kepustakaan (library research). Adapun pengumpulan data melalui kajian
pustaka terhadap buku primer yaitu Borobudur dan Peninggalan Nabi
Sulaiman dan buku-buku lainnya yang terkait. Pada bagian inti penulis
melakukan analisis ad-dakhȋl terhadap penafsiran Fahmi Basya.
Adapun hasil dari penelitian ini terhadap 7 ayat yang dijadikan objek
kajian dari penelitian, penulis menilai bahwa semuanya terdapat unsur
penyimpangan terhadap penafsiran Al-Qur‟an (ad-dakhīl), sangat terlihat
unsur al-dakhīl bi ra’yi nya. Fahmi Basya menganggap hasil penelitiannya
adalah keputusan final dan menganggap apa yang disampaikan mufassir
hanya hasil rekaan semata. Ia juga terlihat menafsirkan Al-Qur‟an dengan
pendapat sendiri serta menganggap baik dengan ukuran pribadinya.
Memandang kepada status al-dakhīl , maka tergolong pada tafsir mardud
yang tidak dapat diterima karena dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an, ia
hanya menggunakan pendapat sendiri, sedangkan dalam menetapkan sumber
otentik penafsiran harus menggunakan aspek-aspek penafsiran dengan Al-
Qur‟an, hadis, pendapat sahabat dan tabi‟in, sesuai dengan kaidah bahasa
Arab, dan ijtihad/ ra’yu dan syarat-syarat pendukung yang lainnya